Prolog
Sebagai
salah satu tahap/proses menuntut ilmu, hafalan bukanlah metode asing
dalam khazanah Islam. Ia telah dikenal dan dipraktekkan sejak zaman Nabi
Muhammad saw. Setiap menerima wahyu, beliau langsung menyampaikan dan
memerintahkan para sahabat untuk menghafalnya. Dari apa yang Rasulullah
saw lakukan, hafalan Al-Qur’an selalu dibarengi dengan pemahaman (QS.
al-Nahl: 44), demikian juga dengan hafalan Hadith.
Dari
situ, terbangun pandangan hidup, epistemologi Islam dan ilmu-ilmu
Keislaman. Dengan demikian, tuduhan bahwa hafalan hanya melemahkan
kreatifitas bukan hanya tidak tepat, tetapi juga mengaburkan arti
penting hafalan dalam perkembangan peradaban Islam.
Hafalan dan Otentisitas Al-Qur’an
Hafalan,
sebagaimana yang disinggung di atas, bukan metode belajar yang berdiri
sendiri. Ia bagian dari satu rangkaian/proses menuntut ilmu yang secara
langsung diajarkan oleh Rasulullah saw kepada para sahabat beliau. Jika
kita telusuri lebih jauh, perintah baginda Rasul saw untuk menghafalkan
Al-Qur’an kala itu bukan hanya karena kemuliaan, keagungan dan kedalaman
kandungannya, akan tetapi juga untuk menjaga otentisitas Al-Qur’an itu
sendiri.
Seperti yang diketahui, pada prinsipnya Al-Qur’an bukanlah “tulisan” (rasm), tetapi “bacaan” (qira’ah), dalam
arti ucapan dan sebutan. Baik proses turun-(pewahyuan)-nya maupun
penyampaian, pengajaran dan periwayatan-(transmisi)-nya dilakukan
melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Karena itu, dari dahulu yang
dimaksud dengan “membaca” Al-Qur’an adalah membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri qalbin). Sedangkan
tulisan berfungsi sebagai penunjang semata. Sebab sumber semua tulisan
itu sendiri adalah hafalan, atau apa yang sebelumnya telah tertera dalam
ingatan sang qari’ (baca: M.M. Al-A’zami).
Demikian
juga dengan hafalan Al-Hadith, sangat berperan dalam menjaga
otentisitas dan keberlangsungan Hadith-hadith Nabi saw. Imam Al-Bukhari
dan Imam Muslim misalnya, dua Muhaddith yang sejak kecil berkunjung ke
berbagai tempat dan negara hanya untuk menemui dan belajar langsung
kepada para ulama yang hafal dan memahami Hadith-hadith Rasul saw dengan
sangat baik. Pentingnya hafalan Hadith ini telah Rasulullah saw
isyaratkan dalam sebuah sabda beliau: “Semoga Allah menjadikan
berseri-seri wajah seseorang yang mendengar dari kami Hadits lalu dia
menghafalkannya dan menyampaikannya kepada orang lain” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah dari sahabat Zaid bin Tsabit r.a.).
Agaknya,
pandangan negatif terhadap hafalan sengaja dihembuskan oleh para
missionaris dan orientalis Yahudi-Kristen. Sebab setelah gagal
menghancurkan Sirah dan Sunnah Rasulullah saw (lihat: Daniel &
Preideaux), sasaran mereka selanjutnya adalah Al-Qur'an. Dalam kaitannya
dengan hafalan, tujuan dilancarkannya tuduhan negatif terhadapnya tidak
lain agar umat Islam merasa minder untuk menghafal Al-Qur’an dan Al-Hadith. Jika dituruti, tentu sangat merugikan umat Islam sendiri.
Hafalan dan Aktivitas Intelektual
Disamping
berkaitan dengan otentisitas, hafalan juga berkaitan dengan pemahaman
dan pengamalan. Sebagai utusan Allah swt, baginda Rasul saw, penerima
wahyu (Al-Qur'an), memiliki kemampuan menangkap, memahami, dan
menafsirkan firman Allah swt dengan sangat baik. Jadi, seperti apa dan
bagaimana kandungan Al-Qur’an dijelaskan dan dilakukan langsung oleh
beliau (QS. al-Nahl: 44). Hal ini beliau lakukan dengan cara-cara yang
khas yang berbeda dengan cara-cara yang ada pada scientific worldview (baca: Islamic Science).
Hafalan
Hadith pun demikian, diikuti pemahaman. Para ulama, dalam menghafal
satu Hadith misalnya, diperoleh dari ulama yang otoritatif, bukan
sekedar dari membaca buku yang diproduksi secara luas tanpa bimbingan
orang-orang yang ahli (Muhaddith). Al-Muhaddith Imam Bukhari
misalnya, berkunjung ke berbagai negara untuk bertemu langsung dengan
banyak ulama dalam rangka menghafal Hadith dan memahami isinya.
Guru-guru beliau banyak sekali, di antara yang sangat terkenal adalah
Abu ‘Ashim An-Nabiil, Al Anshari, Makki bin Ibrahim, Ubaidaillah bin
Musa dan Abu Al Mughirah.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam
setiap hafalan Hadith, harus ada proses pemahaman ilmu dari sang ulama
kepada sang murid. Oleh karenanya, umat Islam masa klasik tidak pernah
diresahkan oleh Hadits-hadits atau ayat-ayat yang bertebaran secara
sepotong-potong di tengah umat. Ayat-ayat dan Hadits selalu dipelajari
dalam konteks, tidak sekedar dihafalkan tanpa penjelasan yang memadai.
Sebagai
sumber utama umat Islam, hafalan Al-Qur’an dan Al-Hadith memberi andil
sangat besar dalam perkembangan peradaban Islam. Dari kedua sumber
tersebut, kemudian terbentuk konstruk pandangan hidup Islam (Islamic Worldview). Selain itu, karena bangunan konsep dalam wahyu dan Al-Hadith yang membentuk worldview itu
sarat dengan prinsip-prinsip tentang ilmu, maka epistemologi merupakan
bagian terpenting di dalamnya. Sehingga tradisi intelektual dalam
peradaban Islam dapat hidup dan berkembang dengan pesat.
Melihat
peran sentral tersebut, maka tidak heran jika para ulama memandang
bahwa hafalan Al-Qur’an adalah satu keniscayaan. Bahkan ada yang sampai
menyatakannya sebagai prasyarat bagi siapapun yang ingin mendalami
ilmu-ilmu Keislaman secara luas. Sebab bagi mereka, menuntut ilmu itu
ada tahap-tahapnya. Dan tahap yang paling atas dan utama adalah
menghafal Al-Qur’an, terang Abu Umar bin Abdil Barr. Al-Hafizh An-Nawawi
juga menegaskan: “Yang pertama kali dimulai adalah menghafal Al-Qur’an
yang mulia, dimana itu adalah ilmu yang terpenting diantara ilmu-ilmu
yang ada. Adalah para salaf dahulu tidak mengajarkan ilmu-ilmu Hadits
dan Fiqh kecuali kepada orang yang telah menghafal Al-Qur’an (An-Nubadz fii Adabi Thalabil ‘Ilmi, p. 60-61).
Oleh
sebab itu, kita melihat bahwa para ulama Ahlu As-Sunnah wa Al-Jama’ah,
baik yang dari salaf maupun khalaf, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu
Taimiyah, Imam Al-Ghazali, dan lainnya adalah para ulama yang selain
hafal Al-Qur’an juga hafal sekian banyak Hadith Rasulullah saw. Sehingga
mereka dapat melahirkan pemikiran dan karya yang brilian.
Mengapa Barat “Menganak-tirikan” Hafalan?
Ilmuwan
Barat mengakui bahwa anak-anak belum bisa diajak berpikir secara
sempurna. Karenanya, hafalan menjadi salah satu materi pendidikan
terpenting pada usia ini. Namun tidak seperti umat Islam, masyarakat
Barat yang mayoritas beragama Kristen tidak memiliki kitab suci yang
kaya akan khazanah ilmu pengatahuan. Kandungan Bible justru bertentangan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan (Lihat: R. Hoykaas, Werner G.
Jeandrond dan Marvin Perry). Selain itu, secara harfiah otentisitas
Bible sebagai Kalam Yesus juga dipertanyakan. Bahkan para Teolog Kristen
hampir sepakat bahwa Bible secara harfiahnya bukan perkataan Tuhan
(baca: Encyclopaedia Britannica).
Orang-orang Kristen yang masih menganggap bahwa lafadz
Bible itu Kalam Tuhan mendapat Kritikan keras dan dianggap ekstrim.
Encyclopaedia Britannica memasukkan golongan ini dalam kelompok literal hermeneutics. Dari kelompok ini juga nanti lahir golongan “Fundamentalis Kristen” (baca: The Fundamentals & Studies in Religious Fundamentalism).
Karena
problem teks dan kandungan Bible tersebut, maka wajar jika Barat
(sekuler) tidak mengakui adanya kitab suci yang perlu dihafalkan.
Sehingga mereka melihat, hafalan yang dianggap akan berpengaruh besar
terhadap kecerdasan anak-anak adalah bahasa. Semakin banyak kosakata
yang dimiliki seseorang, semakin mudahlah baginya untuk mendapatkan
informasi dan memahami ilmu pengetahuan.
Sesungguhnya,
pendidikan dasar yang mengutamakan perkembangan bahasa bukanlah
eksklusif milik Barat. Jauh sebelumnya, Ibn Sina (370-429 H/980-1037 M)
telah mengajarkan pentingnya hafalan al-Qur’an untuk memperkaya kosakata
anak. Dengan demikian, kelak anak-anak ini akan lebih mudah memahami
fikih dan ilmu-ilmu lainnya, jelas beliau.
Inovasi yang Proporsional
Harus
diakui, masyarakat Barat cukup kreatif dalam mengembangkan metode
hafalan. Ada yang berupa permainan, kartun pendidikan, buku cerita,
lagu, dsb. Dengan seperti itu, anak-anak bisa digiring untuk
menghafalkan sesuatu tanpa merasa sedang menghafal. Misalnya, untuk
menghafal nama-nama ibu kota negara, ada kartun Postcard from Buster
yang mengajak anak-anak mengenal berbagai budaya dan tempat, tanpa harus
membuat mereka jenuh.
Namun sebagai Muslim, kita harus
teliti dan arif menyikapi kreativitas metode hafalan yang dikembangkan
masyarakat Barat itu. Sebab seperti uraian di atas, walau tidak
seluruhnya beda, tapi ada objek-objek hafalan yang sangat berbeda,
terutama yang berkaitan dengan kitab suci. Perbedaan ini tentu
meniscayakan adanya perbedaan keyakinan, perlakuan, tujuan, dsb.
Contoh,
status teks dan kandungan Bible yang problematis, menjadikan masyarakat
Barat tidak tertarik (cenderung meninggalkan) membaca apalagi
menghafalnya. Karena itu, baru-baru ini dicetak Bible model baru,
seperti majalah yang lengkap dengan gambar ilustrasinya. Beberapa
kutipan dan paragraf dalam majalah ditonjolkan dan gambar-gambar
ilustrasi menghiasi halaman di dalamnya (http://www.hidayatullah.com).
Walaupun mereka katakan bahwa ide ini muncul karena masalah bentuk
semata, agar dengan model baru tersebut umat Kristiani lebih tertarik
membacanya, tetapi kita melihatnya tidak sesederhana itu.
Sebab
Al-Qur’an, baik yang dicetak dalam versi kecil maupun besar tidak
mengendorkan atau menimbulkan rasa bosan umat Islam untuk membaca bahkan
menghafalnya. Hal ini karena memang masalah otentisitas Al-Qur'an dan
Al-Hadith tidak pernah ada di kalangan umat Islam. Sehingga, ketika umat
Islam membaca Al-Qur'an tidak lagi karena otentisitasnya yang
jelas-jelas terjamin, tapi lebih pada keyakinan bahwa membaca dan
mengkajinya adalah tergolong ibadah kepada Allah swt.
Oleh
sebab itu, untuk menghafal Al-Qur’an atau Al-Hadith, apalagi kalau
hanya agar umat Islam tidak meninggalkannya, kita tidak perlu, bahkan
tidak boleh meniru Barat. Artinya, tidak pernah terfikirkan oleh kita
untuk mencetak Al-Qur’an dengan model baru seperti Majalah atau lainnya.
Sebab, Al-Qur’an dan Al-Hadith sama sekali tidak dapat disamakan dengan
Bible yang penuh problem sehingga ditinggalkan. Yang benar, mari kita
kembali melihat, bagaimana cara para ulama salaf menghafal,
memperlakukan, memahami dan mengajarkannya. Sebab mereka, terutama dari
kalangan sahabat adalah orang-orang yang langsung hidup dalam bimbingan
Rasulullah saw.
Walaupun demikian, menurut penulis, untuk
masalah ilmu pengetahuan secara umum, tidak ada salahnya jika kita terus
mengembangkan dan menyesuaikan metode hafalan yang ada.
Epilog
Uraian
singkat ini menunjukkan bahwa hafalan, terutama yang berkaitan dengan
Al-Qur’an dan Al-Hadith, merupakan satu tahap penting dalam sejarah
perkembangan Islam. Sebab keduanya adalah sumber dan pegangan utama umat
Islam dalam membangun peradaban Islam. Dari apa yang Rasululah saw dan
para sahabat lakukan, kita mengetahui bahwa seharusnya hafalan selalu
diiringi dengan pemahaman dan pengamalan. Sehingga darinya, lahir
pandangan hidup, aktivitas intelektual, epistemologi Islam dan ilmu-ilmu
Keislaman. Jadi tidak tepat jika dikatakan bahwa hafalan menghambat
kreativitas seseorang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar