Zuhdu hanya bisa menunduk dan tidak bisa berkata
apa-apa saat ayahnya menatap wajahnya dalam-dalam seakan ingin menyelidiki apa
gerangan yang terjadi pada putra kinansihnya itu. Wajahnya seketika berubah,
keringat dingin bercucuran dari jidat dan kepalanya. Kali ini ia benar-benar kikok berhadapan dengan ayahnya, entah kenapa ayahnya
seakan membaca apa yang sedang dialaminya belakangan ini. tiba-tiba ayahnya
berkata; “Zuhdu… kau putra ayah satu-satunya, sejak kecil kau tak pernah lepas
dari ayah. Lebih-lebih sejak kepergian ibumu saat kau masih berusia enam tahun.
Selalu tingkah laku dan gerak gerikmu tak pernah lepas dari perhatian ayah,
bahkan sampai saat ini. tapi saat ini ayah melihatmu seperti seorang pengelana
yang tersesat di belantara hutan rimba, apa gerangan yang terjadi pada dirimu
Zuhdu?....”
pertanyaan ayahnya yang terakhir ini benar-benar menelanjangi Zuhdu, keringat dingin wajahnya semakin deras mengalir, bibirnya bergetar tak mampu mengatakan apa-apa, ia hanya mampu menggelengkan kepala pertanda bahwa tidak ada terjadi apa-apa pada dirinya. “Zuhdu….” Lirih ayahnya, sambil matanya nanar menatap pakarangan rumah. “kau bukan anak kecil lagi, yang hanya bisa menangis saat ia haus dan lapar, merengek saat dia meminta dan memanja, tersenyum dan tertawa saat ia senang dan bahagia. Tapi kau sudah dewasa Zuhdu… kau telah tumbuh menjadi seorang pemuda, yang kelak akan menjadi penerus generasi bangsa ini, ummat ini. di depanmu ada setumpuk amanah yang harus kau tunaikan. Tapi melihat kondisi dan sikapmu seperti saat ini, ayah tidak yakin kau kelak akan mampu memangku amanah ummat, bangsa dan Negara ini”. “kenapa ayah??... apa yang ayah lihat dalam diri Zuhdu” Zuhdu memberanikan diri untuk membuka mulut, mencoba mencari-cari apa gerangan yang akan dikatakan ayahnya tentang dirinya. “Zuhdu… sebulan belakangan ini ayah sering melihat Zuhdu termenung sendiri, Zuhdu larut dengan keadaan yang ayah sendiri belum tau persis masalah apa yang menimpa Zuhdu, sehingga menghantarkan Zuhdu pada keadaan seperti ini. Zuhdu anak ayah telah kehilangan separuh jiwanya”. Betapa kagetnya Zuhdu mendengan pemaparan ayahnya tentang dirinya. Dan memang saat ini Zuhdu sedang dirundung kegalauan, kegelisahan, dan kegundahan. Semuanya bercampur aduk menjadi satu.
Hari semakin senja, burung-burung bangau telah kembali ke sarang
masing-masing, camar cekakan memecah keheningan senja. Perlahan mentari senja
tenggelam di ufuk barat beriring tasbih dan do’a para-para hambapertanyaan ayahnya yang terakhir ini benar-benar menelanjangi Zuhdu, keringat dingin wajahnya semakin deras mengalir, bibirnya bergetar tak mampu mengatakan apa-apa, ia hanya mampu menggelengkan kepala pertanda bahwa tidak ada terjadi apa-apa pada dirinya. “Zuhdu….” Lirih ayahnya, sambil matanya nanar menatap pakarangan rumah. “kau bukan anak kecil lagi, yang hanya bisa menangis saat ia haus dan lapar, merengek saat dia meminta dan memanja, tersenyum dan tertawa saat ia senang dan bahagia. Tapi kau sudah dewasa Zuhdu… kau telah tumbuh menjadi seorang pemuda, yang kelak akan menjadi penerus generasi bangsa ini, ummat ini. di depanmu ada setumpuk amanah yang harus kau tunaikan. Tapi melihat kondisi dan sikapmu seperti saat ini, ayah tidak yakin kau kelak akan mampu memangku amanah ummat, bangsa dan Negara ini”. “kenapa ayah??... apa yang ayah lihat dalam diri Zuhdu” Zuhdu memberanikan diri untuk membuka mulut, mencoba mencari-cari apa gerangan yang akan dikatakan ayahnya tentang dirinya. “Zuhdu… sebulan belakangan ini ayah sering melihat Zuhdu termenung sendiri, Zuhdu larut dengan keadaan yang ayah sendiri belum tau persis masalah apa yang menimpa Zuhdu, sehingga menghantarkan Zuhdu pada keadaan seperti ini. Zuhdu anak ayah telah kehilangan separuh jiwanya”. Betapa kagetnya Zuhdu mendengan pemaparan ayahnya tentang dirinya. Dan memang saat ini Zuhdu sedang dirundung kegalauan, kegelisahan, dan kegundahan. Semuanya bercampur aduk menjadi satu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar