Minggu, 01 Februari 2015

Kegalauan Zhiena



Sudah enam bulan lamanya Zuhdu meninggalkan tanah air tercinta, bumi Daha seakan masih basah dengan jejak tapak kakinya, surau Raudhatus Sholihien seakan masih bergema dengan suara merdunya melantunkan bait-bait suci surah ar-rahman saat petang menjelang senja, anak-anak kecil masih ramai bermain di pelataran surau menanti adzan maghrib dikumandangkan, sementara penduduk sekitar telah rehat dari aktifitas duniawi nan melelahkan, dengan sarung menggulung di pinggang dan baju koko serta peci yang didominasi warna putih menunjukkan bahwa penduduk sekitar surau adalah masyarakat yang agamis.
Kiprah Zuhdu selama setahun lamanya di bumi Daha ini benar-benar talah menyadarkan penduduknya akan pentingnya kehidupan ukhrawi. Semula masyarakat Daha adalah masyarakat yang awam akan ilmu agama, pengetahuan akan kehidupan ukhrawi, dan pentingnya pendidikan keagamaan. Sebelum kedatangan Zuhdu Surau Raudhatus Sholehien tak ubahnya hanya bangunan tua yang tak berpenghuni, karena hanya ada satu dua jama’ah yang melakukan ritual keagamaan sehari-hari di surau tersebut itu pun hanya sebatas maghrib dan isya’ serta subuh. Tak jarang pula waktu-waktu itu serau lenggang tak berpenghuni. Sementara zuhur dan asar hampir setiap hari masyrakat sekitar enggan dan bahkan tidak ada yang mau mampir ke surau tersebut barang hanya sekedar rehat melepas lelah dan menunaikan kewajiban. Keadaan ini berlangsung lama, hampir sudah tiga puluh tahun kegiatan keagamaan di bumi Daha ini benar-benar mati, sepeninggal kiyai sepuh Mbah Mutawakkil, desa ini benar-benar kehilangan lentera agama.
Kehadiran Zuhdu dengan segenap yang ia miliki mampu merubah warga Daha dari keterpurukan beragama, menjadi masyarakat yang madani dan agamis. Tidak lebih dari satu tahun usaha keras Zuhdu untuk mengajak masyarakat Daha kembali ke jalan Allah jalan kebenaran benar-benar membuahkan hasil, bumi Daha seakan memiliki lentera agama yang jauh lebih bersinar dan terang dari tiga puluh tahun sebelumnya. Zuhdu yang dikenal dengan ketampanannya, kecerdasan dan keluwesannya dalam bergaul dengan masyarakat sekitar serta keluhuran budi pekerti dan kedalaman ilmu agamanya benar-benar menjadi maghnit tersendiri bagi masyarakat Daha. Awalanya kehadiran Zuhdu di desa ini hanya dipandang sebelah mata oleh masyarakat sekitar, ia diperlakukan tida bedanya seperti layaknya pendatang baru yang hanya dianggap sekedar tinggal dan berdiam saja di perkampungan mereka. Tak ada penghormatan yang berarti yang diterima Zuhdu saat awal kedatangannya. Semua mata memandang sinis padanya, bahkan tidak jarang ia mendengar omongan-omongan miring tentang dirinya.
Pernah suatu sore sehabis salat ashar di Surau, Zuhdu pulang menuju rumah kontrakannya melalui gang-gang kecil. Di dekat rumahnya zuhdu menjumpai beberapa ibu duduk santai diteras rumah bu Diyah. Saat lewat di depan mereka Zuhdu memperlambat jalannya untuk menghormat dan mengucap salam, namun bukan jawaban yang ia terima melainkan sebuah sikap yang tak pernah terlintas di banak dan pikirannya. Ibu-ibu yang tadi asyik ngerompi diam sesaat dan membuang muka seakan tak ingin melihat Zuhdu dengan penampilannya yang sarungan itu. Belum sempat Zuhdu berlalu jauh, seorang ibu dengan nada keras berucap “yah… paling sebulan dua bulan si pemuda sok alim itu tinggal di kampung kita, habis itu ia akan pergi dengan sendirinya, lihat aja ntar” sindirnya. “benar tu bu Diyah….” Sambut bu Sri yang dari tadi hanya jadi pendengar setia, tak dapat giliran ngomong tuk ngerompi. “iya… emangnya kampung kita ini pesantren yang butuh ustadz” lanjut bu Neng dengan nada meyakinkan seakan-akan ingin mengusir dan menginginkan Zuhdu cepat-cepat hengkang dari perkampungan ini.
***
 Saat anak-anak riang gembira, saat para bapak mengobrol santai di teras-teras menanti senja dan adzan maghrib dikumandangkan, dan saat ibu-ibu mulai sibuk memasukkan ayam-ayam mereka ke kandang masing-masing. Lain halnya dengan Zhiena, ia tampak murung. Entah apa yang ada di benak pikirannya, namun yang jelas semenjak kepergian Zuhdu, Zhiena merasakan ada yang hilang dari sisinya. Zhiena sendiri tak menyadari apa yang sedang terjadi padanya. Zhiena yang saat ini masih duduk di bangku kelas tiga Sekolah Menengah Atas Negri 1 (SMAN 1) Daha tidak begitu mengerti tentang arti sebuah rasa, ia hanya sanggup merasakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar