Sudah
enam bulan lamanya Zuhdu meninggalkan tanah air tercinta, bumi Daha seakan
masih basah dengan jejak tapak kakinya, surau Raudhatus Sholihien seakan masih
bergema dengan suara merdunya melantunkan bait-bait suci surah ar-rahman saat
petang menjelang senja, anak-anak kecil masih ramai bermain di pelataran surau
menanti adzan maghrib dikumandangkan, sementara penduduk sekitar telah rehat
dari aktifitas duniawi nan melelahkan, dengan sarung menggulung di pinggang dan
baju koko serta peci yang didominasi warna putih menunjukkan bahwa penduduk sekitar
surau adalah masyarakat yang agamis.
Kiprah Zuhdu selama setahun lamanya di
bumi Daha ini benar-benar talah menyadarkan penduduknya akan pentingnya
kehidupan ukhrawi. Semula masyarakat Daha adalah masyarakat yang awam akan ilmu
agama, pengetahuan akan kehidupan ukhrawi, dan pentingnya pendidikan keagamaan.
Sebelum kedatangan Zuhdu Surau Raudhatus Sholehien tak ubahnya hanya bangunan
tua yang tak berpenghuni, karena hanya ada satu dua jama’ah yang melakukan
ritual keagamaan sehari-hari di surau tersebut itu pun hanya sebatas maghrib
dan isya’ serta subuh. Tak jarang pula waktu-waktu itu serau lenggang tak
berpenghuni. Sementara zuhur dan asar hampir setiap hari masyrakat sekitar
enggan dan bahkan tidak ada yang mau mampir ke surau tersebut barang hanya
sekedar rehat melepas lelah dan menunaikan kewajiban. Keadaan ini berlangsung
lama, hampir sudah tiga puluh tahun kegiatan keagamaan di bumi Daha ini
benar-benar mati, sepeninggal kiyai sepuh Mbah Mutawakkil, desa ini benar-benar
kehilangan lentera agama.
Kehadiran
Zuhdu dengan segenap yang ia miliki mampu merubah warga Daha dari keterpurukan
beragama, menjadi masyarakat yang madani dan agamis. Tidak lebih dari satu
tahun usaha keras Zuhdu untuk mengajak masyarakat Daha kembali ke jalan Allah
jalan kebenaran benar-benar membuahkan hasil, bumi Daha seakan memiliki lentera
agama yang jauh lebih bersinar dan terang dari tiga puluh tahun sebelumnya.
Zuhdu yang dikenal dengan ketampanannya, kecerdasan dan keluwesannya dalam
bergaul dengan masyarakat sekitar serta keluhuran budi pekerti dan kedalaman
ilmu agamanya benar-benar menjadi maghnit tersendiri bagi masyarakat Daha. Awalanya
kehadiran Zuhdu di desa ini hanya dipandang sebelah mata oleh masyarakat
sekitar, ia diperlakukan tida bedanya seperti layaknya pendatang baru yang
hanya dianggap sekedar tinggal dan berdiam saja di perkampungan mereka. Tak ada
penghormatan yang berarti yang diterima Zuhdu saat awal kedatangannya. Semua
mata memandang sinis padanya, bahkan tidak jarang ia mendengar omongan-omongan
miring tentang dirinya.
Pernah
suatu sore sehabis salat ashar di Surau, Zuhdu pulang menuju rumah kontrakannya
melalui gang-gang kecil. Di dekat rumahnya zuhdu menjumpai beberapa ibu duduk
santai diteras rumah bu Diyah. Saat lewat di depan mereka Zuhdu memperlambat
jalannya untuk menghormat dan mengucap salam, namun bukan jawaban yang ia
terima melainkan sebuah sikap yang tak pernah terlintas di banak dan
pikirannya. Ibu-ibu yang tadi asyik ngerompi diam sesaat dan membuang muka
seakan tak ingin melihat Zuhdu dengan penampilannya yang sarungan itu. Belum
sempat Zuhdu berlalu jauh, seorang ibu dengan nada keras berucap “yah… paling
sebulan dua bulan si pemuda sok alim itu tinggal di kampung kita, habis itu ia
akan pergi dengan sendirinya, lihat aja ntar” sindirnya. “benar tu bu Diyah….”
Sambut bu Sri yang dari tadi hanya jadi pendengar setia, tak dapat giliran
ngomong tuk ngerompi. “iya… emangnya kampung kita ini pesantren yang butuh
ustadz” lanjut bu Neng dengan nada meyakinkan seakan-akan ingin mengusir dan
menginginkan Zuhdu cepat-cepat hengkang dari perkampungan ini.
***
Saat anak-anak riang
gembira, saat para bapak mengobrol santai di teras-teras menanti senja dan
adzan maghrib dikumandangkan, dan saat ibu-ibu mulai sibuk memasukkan ayam-ayam
mereka ke kandang masing-masing. Lain halnya dengan Zhiena, ia tampak murung.
Entah apa yang ada di benak pikirannya, namun yang jelas semenjak kepergian
Zuhdu, Zhiena merasakan ada yang hilang dari sisinya. Zhiena sendiri tak
menyadari apa yang sedang terjadi padanya. Zhiena yang saat ini masih duduk di bangku
kelas tiga Sekolah Menengah Atas Negri 1 (SMAN 1) Daha tidak begitu mengerti
tentang arti sebuah rasa, ia hanya sanggup merasakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar