Judul
tulisan ini mungkin terdengar aneh dan sedikit mengundang gelitik tawa saudara
pembaca yang budiman, sekilas judul ini seperti sebuah cerpen atau anekdot
lelocon belaka. Namun apalah arti dari sebuah judul, ia diunggulkan hanya untuk
menarik minat dan perhatian pembaca saja, begitulah kira-kira menurut hemat
penulis yang serba kekurangan ini.
Sebenarnya judul di atas adalah sebuah
ungkapan atau plesetan untuk kerancuan seseorang dalam berpikir tentang agama
lebih-lebih tentang Tuhan dewasa ini. Bagi kita yang terbiasa berdiam di rumah
saja dan tak pernah melengokkan kepala ke jendela lebih-lebih keluar rumah
sekedar untuk menghirup udara segar atau berjalan-jalan di sekitar pasar,
bareng tuk membeli sehelai selimut guna menahan dingin di malam hari atau hanya
untuk menyeruput dan menikmati secangkir kopi saja. Kita mungkin tak kan pernah
mengetahui bagaimana bisingnya jalanan, hiruk pikuknya pasar ikan yang
bercampur dengan bau anyer yang sama sekali tak menyegarkan, dan panasnya terik
mentari di luar sana.
Perumpamaan di atas hanyalah testemoni
penulis belaka untuk mengajak sahabat pembaca agar berpikir lebih keras lagi
tentang kehidupan di luar sana. “kehidupan luar keras bung…!” begitulah penggalan
kata dari seorang sahabat saya sehabis keluar dari Bus Kota yang kemudian ikut
nibrung halaqahnya genk kopi tubruk di kampus tempo dulu. Sekilas kata sahabat
saya ini terdengar biasa saja, dan ungkapan basa-basi dari seorang yang telah
kelelahan sehabis melakukan perjalanan seharian.
Namun jika kita cermati lebih dalam,
ada nilai filosofis dari kata-kata singkat di atas, ungkapan itu tidak keluar
dengan begitu saja, tapi menggambarkan sebuah kenyataan hidup yang pernah
dialami. Kehidupan kota yang jauh dari nilai-nilai paguyuban, membuat seseorang
harus berpikir lebih keras tentang sebuah masalah yang dihadapinya. Maka jangan
heran jika suatu saat kita menemukan sesuatu yang jauh dari kebiasaan
sehari-hari kita, atau bahkan keluar dari norma-norma keagamaan dan kebudayaan
yang kita anut selama ini. Tidak hanya sampai di situ, bahkan Tuhan yang dalam
pandangan kita sebagai seorang mukmin yang memiliki keyakinan dan I’tiqad yang
bersih dan benar, keesaan dan kemahakuasaan-Nya cukup hanya diimani. Namun
dalam kenyataannya saat ini, pembahasan tentang Tuhan sudah masuk pada ranah
perdebatan yang bermuara pada kerancuan berpikir dan kesesatan.
Pembaca yang
budiman…
Bagi kalian
yang pernah menuntaskan membaca novel mega bestseller-nya Habiburrahman “Bumi
Cinta” atau kalian yang telah melahap sekian banyak buku-buku filsafat. Nama
Nietzche, bukanlah nama yang asing lagi di banak dan pikiran kalian. Nietzche
adalah seorang ateis yang pada tahun 1882-an dengan beraninya ia
mendeklarasikan sebuah pernyataan “god is dead”. Bagi kita yang masih
berpikiran normal dan meyakini akan adanya Tuhan, sungguh pernyataan Nietzche
ini adalah pernyataan yang sama sekali tidak bisa kita terima.
Tapi
anehnya, kita tiba-tiba mendengar mahasiswa muslim “mengusir” Tuhan dari kampusnya
dan membuat plesetan tentang Allah dengan gaya filosof barat. ini adalah
guyonan yang tidak lucu dan wacana intelektual yang wagu. Seperti santri
sarungan tapi kepalanya bertopi cowboy Alaska yang kedodoran. Tidak bisa sujud
tapi juga tidak bisa lari. Bagaikan parodi dalam drama kolosal yang berunsur
westerntainment.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar