Tobat
Oleh: Muahammad Arman
Hampir mayoritas kaum sufi sepakat bahwa tobat merupakan maqam
pertama. Abu Ya’qub Yusuf bin Hamdan Al-Susi, misalnya menyebutkan bahwa maqam
(tingkat) pertama dari maqamat orang-orang yang menempuh jalan menuju
Allah adalah tobat. Dan Al-Ghazali menyebutkan tobat sebagai permulaan jalan
para salik (mabda’ thariq as salikien) modal harta orang-orang yang
beruntung (ra’su mal al faizin), dan permulaan langkah orang–orang yang
berkehendak kepada Allah (awwal aqdam al faizin)[1].
Al-Qusyairi juga memandang tobat sebagai maqam pertama di antara maqamat
kaum sufi dan tanzil (tahapan) pertama diantara manazil yang
dicapai oleh para salik.[2]
Secara literal, tobat berarti “kembali”. Dalam perspektif tasawuf,
tobat berarti kembali dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk
tidak mengulanginya kembali, kemudian kemballi kepada Allah[3].
Kembali kepada Allah berarti mengerjakan segala yagn disukai-Nya. Dalam hal ini
ada sebuah hadits qudsi yang menyatakan, “hamba-Ku yang secara kontinyu
mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah, maka Aku akan
mencintainya. Jika aku mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengarannya yang
dengannya ia mendengar, menjadi matanya yang dengannya ia melihat, menjadi
tangannya yang dengannya ia memukul dan menjadi kakinya yang dengannya ia
berjalan”
Tobat merupakan kewajiban bagi setiap musllim, karena selama ia
belum mampu melaksanakan ibadah kepada Allah secara sempurna, maka itu berarti
ia tidak kebal terhadap godaan-godaan setan yang senantiasa mengajak jiwa
rendahnya kepada perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan terlarang. Bahkan
dalam pandangan Al-Ghazali, bertobat secara segera merupakan kewajiban yang
tidak diragukan lagi, karena adanya sebuah pengetahuan bahwa maksiat-maksiat
yang dilakukan akan menghancurkan sendi-sendi iman[4].
Sahl bin Abdullah ketika ditanya tentang taobat, ia menjwab,
“hendaknya engkau tidak melupakan (selalu ingat) dosa-dosamu”[5].
Mengingat dosa artinya membersihkan hati dari bisikan-bisikan hati kecil, angan-angan
dan pengaruh-pengaruh yang mengajak kepada perbuatn dosa. Tobat juga menurut Sahl
adalah menghentikan sikap suka menunda-nunda. Maksudnya suka menunda-nunda
bersegera menuju Allah. Al-Juanid ketika ditanya tentang taobat, menjawab,
“hendaknya engkau melupakan dosamu.”[6] Secara
bahasa, pernyataan Sahl di atas kelihatannya berbeda dengan al-Junaid. Namun
jika ditilik lebih dalam, secara substansi keduanya sepakat bahwa dosa harus
senantiasa dihindari dengan cara diingat-ingat atau dilupakan.
Secara lebih detail, al-Junaid selanjutnya berpandangan bahwa tobat
itu memiliki tiga makna, pertama menyesali kesalahan, kedua berketetapan hati
untuk tidak kembali pada apa yang dilarang Allah, dan ketiga adalah
menyelesaikan atau membela orang yang teraniaya[7].
Seperti halnya al-Junaid membagi tobat kepad tiga makna, Abu Ali
al-Daqqaq juga membagi taobat kepada tiga tahap; tahap awal adalah tawbah
tahap kedua adalah inabah dan tahap ketiga adalah awbah. Jadi
al-Daqqaq menempatkan taubah di awal, awbah di akhir dan inabah
di antara keduanya. Menurut al-Daqqaq, siapa yang bertobat karena takut akan
siksa, mata ia tergolong orang-orang yang bertaubat, siapa yang bertaubat
karena mengharap pahala Ilahi, ia berada dalam keadaan inabah. Dan siapa
pun yang bertobat semata-mata memenuhi perintah Ilahi, bukan karena ingin
mendapatkan pahala maupun takut akan hukuman, ia berada dalam keadaan awbah[8].
Menurut al-Daqqaq tawbah mrupakan sifat kaum mukmin, seperti firman
Allah, “dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman.” (QS. Al-Nur: 31). Sedang inabah adalah sifat para awliya dan
muqarrabun. Dalam hal ini Allah berfirman, “(Yaitu) orang yang takut kepada
Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang
dengan hati yang bertaubat” (QS. Qaaf:33). Dan awbah adalah sifat para nabi
dan Rasul, seperti firman-Nya. “Dialah sebaik-baik hamba, sesungguhnya ia
amat taat (kepada Tuhannya)” (Qs. Shaad:44)[9].
Dalam minhajul abidin, al-ghazali menjelaskan bahwa tobat memiliki
dua sasaran. Pertama tobat membuka jalan dalam peningkatan kualitas
ketaatan seseorang kepada Allah, sebab perbuatan dosa yang dilakukan seseorang
mengakibatkan kehinaandan, tertutupnya jalan untuk melakukan ketaatan kepada
Allah. Dosa yang dilakukan seseorang secara terus menerus, tanpa tobat, akan
menjadikan hatinya gelap penuh noda hitam, keras, dan kotor. Hati yang demikian
tidak merasakan kenikmatan beribadah dan tidak merasakan manisnya mendekatkan
diri kepada Allah. Sekiranya Allah tidak memberikan rahmat dan kasih sayang
kepada hamba-Nya yang berdosa, niscaya ia akan jatuh ke dalam kekafiran dan
kehancuran. Kedua, tobat menentukan diterimanya amal ibadah seseorang
oleh Allah. Oleh sebab itu, segala bentuk kebaikan, ketaaan, ibadah, dan do’a
yang dilakukan seseorang belum diterima Allah selama orang itu bergelimang
dosa.
Sungguh tobat adalah kunci pembuka pintu-pintu kebahagiaan, pelita
bagi gelapnya kehidupan serta perisai dari segala marabahaya yang mengancam.
sudah selayaknya bagi setiap muslim untuk selalu bertobat kepada-Nya disetiap
saat dan kesempatan, karena tidak ada jalan lain untuk meninggikan dan
mengangkat derajat seorang hamba di sisi Tuhannya selai tobat. Rasulullah saw.
seorang yang maksum (terpelihara) dari dosa, setiap harinya tidak pernah lepas
dari memohon ampun kepada Allah swt. sebagaimana sabdanya;
عن الأغر المزني وكانت له صحبة أن رسول
الله صلى الله عليه وسلم قال: إنه ليغان على قلبي وإني لأستغفرالله فى اليوم مائة
مرة (رواه المسلم)
“Sungguh hatiku sering benar tertutup, karena itu aku selalu
memohon ampun kepada Allah, setiap hari 100 kali” (HR. Muslim)
[1]
Al-Ghazali “Ihya ‘Ulumiddin” Juz 4 hal.2
[2]
Al-Qusyairi “Risalah Al-Qusyairiyah” hal.91
[3]
Dalam pandangan al-Qusyairi makna kembali (ruju’) adalah kembali dari
sesuatu yang dicela oleh syara’ menuju yang dipuji olehnya (risalah
Qusyairiyah, hal.91). sementara Al-Ghazali memaknaitobat dengan kembali
dari jalan yang menjauhkan diri dari Allah dan mendekatkankepada setan (Ihya
‘Ulumiddin, juz. IV, hal.9)
[4] Ihya
‘Ulumiddin, juz. IV, hal.7
[5]
Al-Qusyairi “Risalah Al-Qusyairiyah” hal.95
[6]
Al-Qusyairi “Risalah Al-Qusyairiyah” hal.95
[7]
Ibid.
[8]
Ibid., hal.94
[9]
ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar