Minggu, 11 November 2012

Tobat


Tobat

Oleh: Muahammad Arman

Hampir mayoritas kaum sufi sepakat bahwa tobat merupakan maqam pertama. Abu Ya’qub Yusuf bin Hamdan Al-Susi, misalnya menyebutkan bahwa maqam (tingkat) pertama dari maqamat orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah adalah tobat. Dan Al-Ghazali menyebutkan tobat sebagai permulaan jalan para salik (mabda’ thariq as salikien) modal harta orang-orang yang beruntung (ra’su mal al faizin), dan permulaan langkah orang–orang yang berkehendak kepada Allah (awwal aqdam al faizin)[1]. Al-Qusyairi juga memandang tobat sebagai maqam pertama di antara maqamat kaum sufi dan tanzil (tahapan) pertama diantara manazil yang dicapai oleh para salik.[2]

Secara literal, tobat berarti “kembali”. Dalam perspektif tasawuf, tobat berarti kembali dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya kembali, kemudian kemballi kepada Allah[3]. Kembali kepada Allah berarti mengerjakan segala yagn disukai-Nya. Dalam hal ini ada sebuah hadits qudsi yang menyatakan, “hamba-Ku yang secara kontinyu mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah, maka Aku akan mencintainya. Jika aku mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, menjadi matanya yang dengannya ia melihat, menjadi tangannya yang dengannya ia memukul dan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan

Tobat merupakan kewajiban bagi setiap musllim, karena selama ia belum mampu melaksanakan ibadah kepada Allah secara sempurna, maka itu berarti ia tidak kebal terhadap godaan-godaan setan yang senantiasa mengajak jiwa rendahnya kepada perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan terlarang. Bahkan dalam pandangan Al-Ghazali, bertobat secara segera merupakan kewajiban yang tidak diragukan lagi, karena adanya sebuah pengetahuan bahwa maksiat-maksiat yang dilakukan akan menghancurkan sendi-sendi iman[4].

Sahl bin Abdullah ketika ditanya tentang taobat, ia menjwab, “hendaknya engkau tidak melupakan (selalu ingat) dosa-dosamu”[5]. Mengingat dosa artinya membersihkan hati dari bisikan-bisikan hati kecil, angan-angan dan pengaruh-pengaruh yang mengajak kepada perbuatn dosa. Tobat juga menurut Sahl adalah menghentikan sikap suka menunda-nunda. Maksudnya suka menunda-nunda bersegera menuju Allah. Al-Juanid ketika ditanya tentang taobat, menjawab, “hendaknya engkau melupakan dosamu.”[6] Secara bahasa, pernyataan Sahl di atas kelihatannya berbeda dengan al-Junaid. Namun jika ditilik lebih dalam, secara substansi keduanya sepakat bahwa dosa harus senantiasa dihindari dengan cara diingat-ingat atau dilupakan.

Secara lebih detail, al-Junaid selanjutnya berpandangan bahwa tobat itu memiliki tiga makna, pertama menyesali kesalahan, kedua berketetapan hati untuk tidak kembali pada apa yang dilarang Allah, dan ketiga adalah menyelesaikan atau membela orang yang teraniaya[7].

Seperti halnya al-Junaid membagi tobat kepad tiga makna, Abu Ali al-Daqqaq juga membagi taobat kepada tiga tahap; tahap awal adalah tawbah tahap kedua adalah inabah dan tahap ketiga adalah awbah. Jadi al-Daqqaq menempatkan taubah di awal, awbah di akhir dan inabah di antara keduanya. Menurut al-Daqqaq, siapa yang bertobat karena takut akan siksa, mata ia tergolong orang-orang yang bertaubat, siapa yang bertaubat karena mengharap pahala Ilahi, ia berada dalam keadaan inabah. Dan siapa pun yang bertobat semata-mata memenuhi perintah Ilahi, bukan karena ingin mendapatkan pahala maupun takut akan hukuman, ia berada dalam keadaan awbah[8].

Menurut al-Daqqaq tawbah mrupakan sifat kaum mukmin, seperti firman Allah, “dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Nur: 31). Sedang inabah adalah sifat para awliya dan muqarrabun. Dalam hal ini Allah berfirman, “(Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat” (QS. Qaaf:33). Dan awbah adalah sifat para nabi dan Rasul, seperti firman-Nya. “Dialah sebaik-baik hamba, sesungguhnya ia amat taat (kepada Tuhannya)” (Qs. Shaad:44)[9].

Dalam minhajul abidin, al-ghazali menjelaskan bahwa tobat memiliki dua sasaran. Pertama tobat membuka jalan dalam peningkatan kualitas ketaatan seseorang kepada Allah, sebab perbuatan dosa yang dilakukan seseorang mengakibatkan kehinaandan, tertutupnya jalan untuk melakukan ketaatan kepada Allah. Dosa yang dilakukan seseorang secara terus menerus, tanpa tobat, akan menjadikan hatinya gelap penuh noda hitam, keras, dan kotor. Hati yang demikian tidak merasakan kenikmatan beribadah dan tidak merasakan manisnya mendekatkan diri kepada Allah. Sekiranya Allah tidak memberikan rahmat dan kasih sayang kepada hamba-Nya yang berdosa, niscaya ia akan jatuh ke dalam kekafiran dan kehancuran. Kedua, tobat menentukan diterimanya amal ibadah seseorang oleh Allah. Oleh sebab itu, segala bentuk kebaikan, ketaaan, ibadah, dan do’a yang dilakukan seseorang belum diterima Allah selama orang itu bergelimang dosa.

Sungguh tobat adalah kunci pembuka pintu-pintu kebahagiaan, pelita bagi gelapnya kehidupan serta perisai dari segala marabahaya yang mengancam. sudah selayaknya bagi setiap muslim untuk selalu bertobat kepada-Nya disetiap saat dan kesempatan, karena tidak ada jalan lain untuk meninggikan dan mengangkat derajat seorang hamba di sisi Tuhannya selai tobat. Rasulullah saw. seorang yang maksum (terpelihara) dari dosa, setiap harinya tidak pernah lepas dari memohon ampun kepada Allah swt. sebagaimana sabdanya;

عن الأغر المزني وكانت له صحبة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إنه ليغان على قلبي وإني لأستغفرالله فى اليوم مائة مرة (رواه المسلم)

“Sungguh hatiku sering benar tertutup, karena itu aku selalu memohon ampun kepada Allah, setiap hari 100 kali” (HR. Muslim)



[1] Al-Ghazali “Ihya ‘Ulumiddin” Juz 4 hal.2
[2] Al-Qusyairi “Risalah Al-Qusyairiyah” hal.91
[3] Dalam pandangan al-Qusyairi makna kembali (ruju’) adalah kembali dari sesuatu yang dicela oleh syara’ menuju yang dipuji olehnya (risalah Qusyairiyah, hal.91). sementara Al-Ghazali memaknaitobat dengan kembali dari jalan yang menjauhkan diri dari Allah dan mendekatkankepada setan (Ihya ‘Ulumiddin, juz. IV, hal.9)
[4] Ihya ‘Ulumiddin, juz. IV, hal.7
[5] Al-Qusyairi “Risalah Al-Qusyairiyah” hal.95
[6] Al-Qusyairi “Risalah Al-Qusyairiyah” hal.95
[7] Ibid.
[8] Ibid., hal.94
[9] ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar