”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam
kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan
saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya
menetapi kesabaran”
(QS. Al ‘Ashr).
A.
Pendahuluan
Surat Al ‘Ashr merupakan sebuah
surat dalam Al Qur’an yang banyak dihafal oleh kaum muslimin karena pendek dan
mudah. Namun sayangnya, sangat sedikit di antara kaum muslimin yang dapat
memahaminya. Padahal, meskipun surat ini pendek, akan tetapi memiliki kandungan
makna yang sangat dalam. Sampai-sampai Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
لَوْ تَدَبَّرَ النَّاسُ هَذِهِ السُّوْرَةَ
لَوَسَعَتْهُمْ
”Seandainya
setiap manusia merenungkan surat ini, niscaya hal itu akan mencukupi untuk
mereka.”[1]
Surah ini dimulai dengan
kata-kata sumpah, dan Allah bersumpah dengan nama masa “wa al-‘ashr” tidak
dengan nama Dzat atau diri-Nya, lantas apakah rahasia dibalik sumpah itu. Para
ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan kata “al-‘ashr” ada yang
mengatakan ”al’ashr” adalah waktu pagi “bukrah” dan pula yang
mengartikannya sore “’asyiyyah” namun arti yang paling masyhur
dikalangan para mufassir adalah waktu sholat ‘Ashr. Sementara Ibnu
‘Abbas mengartikan ”al-‘ashr” dengan arti masa “ad-dahr”, ia
menjelaskan; Allah bersumpah dengan kata ini karena ia meliputi segala bentuk
ketakjuban, dan di dalamnya terdapat kenikmatan dan sebaliknya agar
mengingatkan manusia yang siap untuk menghadapi kerugian dan kebahagiaan[2].
Syaikh Muhammad bin Sholih Al
‘Utsaimin rahimahullah berkata, ”Maksud perkataan Imam Syafi’i adalah surat ini
telah cukup bagi manusia untuk mendorong mereka agar memegang teguh agama Allah
dengan beriman, beramal sholih, berdakwah kepada Allah, dan bersabar atas semua
itu. Beliau tidak bermaksud bahwa manusia cukup merenungkan surat ini tanpa
mengamalkan seluruh syari’at. Karena seorang yang berakal apabila mendengar
atau membaca surat ini, maka ia pasti akan berusaha untuk membebaskan dirinya
dari kerugian dengan cara menghiasi diri dengan empat kriteria yang tersebut
dalam surat ini, yaitu beriman, beramal shalih, saling menasehati agar
menegakkan kebenaran (berdakwah) dan saling menasehati agar bersabar”[3].
B.
Kandungan surat Al-‘Ashr
Dalam surat ini Allah
ta’ala menjelaskan bahwa seluruh manusia benar-benar berada dalam
kerugian. Kerugian yang dimaksud dalam ayat ini bisa bersifat mutlak, artinya
seorang merugi di dunia dan di akhirat, tidak mendapatkan kenikmatan dan berhak
untuk dimasukkan ke dalam neraka. Bisa jadi ia hanya mengalami kerugian dari
satu sisi saja. Oleh karena itu, dalam surat ini Allah mengeneralisir bahwa
kerugian pasti akan dialami oleh manusia kecuali mereka yang memiliki empat
kriteria dalam surat tersebut
1.
Beriman (الذين آمنوا)
Kriteria pertama, yaitu beriman
kepada Allah. Dan keimanan ini tidak akan terwujud tanpa ilmu, karena keimanan
merupakan cabang dari ilmu dan keimanan tersebut tidak akan sempurna jika tanpa
ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama). Seorang muslim
wajib (fardhu ‘ain) untuk mempelajari setiap ilmu yang dibutuhkan oleh seorang
mukallaf dalam berbagai permasalahan agamanya, seperti prinsip keimanan dan
syari’at-syari’at Islam, ilmu tentang hal-hal yang wajib dia jauhi berupa
hal-hal yang diharamkan, apa yang dia butuhkan dalam mu’amalah, dan lain
sebagainya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مَسْلَمٍ
”Menuntut
ilmu wajib bagi setiap muslim.”[4]
Imam
Ahmad rahimahullah berkata,
يَجِبُ أَنْ يَطْلَبَ
مِنَ الْعِلْمِ مَا يَقُوْمُ بِهِ دِيْنَهُ
”Seorang
wajib menuntut ilmu yang bisa membuat dirinya mampu menegakkan agama.”[5]
Maka merupakan sebuah kewajiban
bagi setiap muslim untuk mempelajari berbagai hal keagamaan yang wajib dia
lakukan, misalnya yang berkaitan dengan akidah, ibadah, dan muamalah. Semua itu
tidak lain dikarenakan seorang pada dasarnya tidak mengetahui hakikat keimanan
sehingga ia perlu meniti tangga ilmu untuk mengetahuinya. Allah ta’ala
berfirman,
مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا
الْكِتَابُ وَلا الإيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ
نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا
”Sebelumnya
kamu tidaklah mengetahui apakah Al Quran itu dan tidak pula mengetahui apakah
iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki
dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.”[6]
2.
Beramal
sholeh (وعملوا الصالحات)
Sifat yang kedua adalah beramal sholeh, Amalan
shalih itu mencakup amalan zhahir yang dikerjakan oleh anggota badan maupun
amalan batin, baik amalan tersebut bersifat fardhu (wajib) atau pun bersifat
mustahab (anjuran).
Orang-orang yang beramal sholeh seumpama orang
yang melakukan perdagangan yang tiada ruginya, dimana mereka menjual kefanaan
(dunia) yang hina dan membeli kekekalan (akhirat) yang begitu berharga[7].
Ibnu ‘Asyur dalam Tahrirnya memberikan komentar tentang amal; “Paling besarnya
amal sholeh adalah tobat dari segala dosa, karena tobat adalah pengakuan
terhadap segala kesalahan yang pernah diperbuat, orang yang benar-benar beriman
dan meninggalkan kejahatan atau mengerjakan kejahatan namun dia bertobat,
dialah orang yang berhak memperoleh keberuntungan majazi, dan balasan
yang baik dari perbuatannya. Adapun orang yang tidak melakukan amal sholeh dan
tidak bertobat dari kejahatan, maka ia adalah orang yang berhak mendapatkan
kerugian”[8]
Keterkaitan antara iman dan amal sholeh itu
sangatlah erat dan tidak bisa dipisahkan. Karena amal sholeh itu merupakan buah
dan konsekuensi dari kebenaran iman seseorang. Atas dasar ini para ulama’
menyebutkan salah satu prinsip dasar dari Ahlus Sunnah wal jama’ah bahwa amal
sholeh itu bagian dari iman. Iman itu bisa bertambah dengan amalan sholeh dan
akan berkurang dengan amalan yang jelek (kemaksiatan).
Oleh karena itu, dalam Al Qur’an Allah swt. banyak menggabungkan antara iman dan
amal sholeh dalam satu konteks, seperti dalam ayat ini atau ayat-ayat yang
lainnya. Diantaranya firman Allah swt.:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ
ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih,
baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan
Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.”[9]
3.
Saling
menasehati dalam kebenaran (وتواصوا بالحق)
Merupakan salah satu dari sifat-sifat yang
menghindarkan seseorang dari kerugian adalah saling menasehati diantara mereka
dalam kebenaran, dan di dalam menjalankan ketaatan kepada Allah swt. serta
meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan-Nya.
At-tawashi bi al-Haq meliputi
pengajaran hakekat hidayah, akidah-akidah kebenaran, dan kepuasan jiwa dalam
memahaminya dengan mengerjakan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran[10]. Atau
memberikan nasehat tentang agama yang kuat sehingga tidak ada jalan untuk
mengnkari, dan tidak akan hilang di dunia atau pun di akhirat lantaran jejaknya
yang baik, yakni segala macam kebaikan baik beriman kepada Allah swt, atu
mengikuti kitab-kitabnya dan rasul-rasulnya dalam segala keyakinan dan
perbuatam[11]
Nasehat merupakan perkara yang agung, dan
merupakan jalan rasul di dalam memperingatkan umatnya, sebagaimana Nabi Nuh
ketika memperingatkan kaumnya dari kesesatan
أُبَلِّغُكُمْ رِسَالاتِ
رَبِّي وَأَنْصَحُ لَكُمْ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
"Aku
sampaikan kepadamu amanat-amanah Tuhanku dan aku memberi nasihat kepadamu, dan
aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui".[12]
Dengan nasehat itu maka akan tegak agama ini,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam di
dalam haditsnya
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ
Bila nasehat itu mulai kendor dan runtuh maka
akan runtuhlah agama ini, karena kemungkaran akan semakin menyebar dan meluas.
Sehingga Allah swt
melaknat kaum kafir dari kalangan Bani Israil dikarenakan tidak
adanya sifat ini sebagaimana firman-Nya:
الْمُنَافِقُونَ
وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ
عَنِ الْمَعْرُوفِ
“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan,
sebagian mereka dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh kepada
perbuatan yang mungkar dan melarang dari perbuatan yang ma’ruf.”[14]
4.
Saling
menasehati dalam kesabaran
Saling menasehati dalam berbagai macam
kesabaran, sabar di atas ketaatan terhadap Allah swt dan menjalankan segala
perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya, sabar terhadap musibah yang menimpa
serta sabar terhadap takdir dan ketetapan-Nya
Orang-orang yang bersabar di atas kebenaran dan
saling menasehati satu dengan yang lainnya, maka sesungguhnya Allah swt telah menjanjikan bagi mereka
pahala yang tidak terhitung, Allah swt
berfirman (artinya):
.....إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ
أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Hakekat
sabar menurut Ibnu ‘Asyur adalah seseorang menahan dirinya untuk memenuhi
keinginan-keinginannya, atau menahan dari berusaha untuk menggapainya (jika
usaha untuk menggapainya itu susah, maka ia tinggalkan usahanya itu lantaran
takut akan bahaya yang ditimbulkan olehnya, sebaimana ia takut kepada kemurkaan
Allah atau azab-Nya) atau lantaran keinginannya untuk memperoleh manfaat
darinya (seperti sabar terhadap susah payahnya jihad dan haji lantaran ingin
memperoleh pahala, dan sabar terhadap susah payahnya bekerja kerna ingin
memperoleh harta benda, nama baik atau lainnya)[16].
C.
Penutup
Demikianlah
uraian singkat tentang tafsir surah Al-‘Ashr, dan dapat ditarik kesimpulan
bahwa jika telah terkumpul pada diri seseorang keempat sifat ini (beriman,
beramal sholeh, saling menasehati dalam kebaikan, dan saling menasehati dalam
kesabaran), maka dia telah mencapai puncak kesempurnaan. Karena dengan dua
sifat pertama (iman dan amal shalih) ia telah menyempurnakan dirinya sendiri,
dan dengan dua sifat terakhir (saling menasehati dalam kebenaran dan dalam
kesabaran) ia telah menyempurnakan orang lain. Oleh karena itu, selamatlah ia
dari kerugian, bahkan ia telah beruntung dengan keberuntungan yang agung.
وَالله ُتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ وَالْحَمْدُ
ِللهِ رَبِّ اْلعٰلَمِيْن
[1]
Muhammad Thohir “Tahrir wa Tanwier” Juz.30, hal.528
[2]
Sayyid Mahmud Al-Alusi Al-Baghdadi “Ruhul Ma’ani” Juz 30, hal.228
[3] Syarh Tsalatsatul Ushul
[4] HR. Ibnu Majah nomor 224 dengan sanad shahih
[5] Al Furu’ 1/525
[6] Asy Syuura: 52
[7]
Ruhul Ma’ani, Juz.30, hal.228
[8]
At-Tahrir wa at-Tanwir, hal.531
[9] QS.
An Nahl: 97
[10] At-Tahrir
wa at-Tanwir, hal.533
[11] Ruhul
Ma’ani, Juz.30, hal.229
[12] Qs.
Al-A’raf: 62
[13] HR. Muslim. dari shahabat Tamim Ad Daari radhiyallahu
‘anhu
[14] QS.
At-Taubah: 67
[15]
QS. Az Zumar:10
[16] At-Tahrir
wa at-Tanwir, hal.533
Tidak ada komentar:
Posting Komentar