Minggu, 11 November 2012

Dibalik Kerugian Manusia

”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran”

(QS. Al ‘Ashr).


A.     Pendahuluan
Surat Al ‘Ashr merupakan sebuah surat dalam Al Qur’an yang banyak dihafal oleh kaum muslimin karena pendek dan mudah. Namun sayangnya, sangat sedikit di antara kaum muslimin yang dapat memahaminya. Padahal, meskipun surat ini pendek, akan tetapi memiliki kandungan makna yang sangat dalam. Sampai-sampai Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,

لَوْ تَدَبَّرَ النَّاسُ هَذِهِ السُّوْرَةَ لَوَسَعَتْهُمْ

”Seandainya setiap manusia merenungkan surat ini, niscaya hal itu akan mencukupi untuk mereka.”[1]
Surah ini dimulai dengan kata-kata sumpah, dan Allah bersumpah dengan nama masa “wa al-‘ashr” tidak dengan nama Dzat atau diri-Nya, lantas apakah rahasia dibalik sumpah itu. Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan kata “al-‘ashr” ada yang mengatakan ”al’ashr” adalah waktu pagi “bukrah” dan pula yang mengartikannya sore “’asyiyyah” namun arti yang paling masyhur dikalangan para mufassir adalah waktu sholat ‘Ashr. Sementara Ibnu ‘Abbas mengartikan ”al-‘ashr” dengan arti masa “ad-dahr”, ia menjelaskan; Allah bersumpah dengan kata ini karena ia meliputi segala bentuk ketakjuban, dan di dalamnya terdapat kenikmatan dan sebaliknya agar mengingatkan manusia yang siap untuk menghadapi kerugian dan kebahagiaan[2].
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, ”Maksud perkataan Imam Syafi’i adalah surat ini telah cukup bagi manusia untuk mendorong mereka agar memegang teguh agama Allah dengan beriman, beramal sholih, berdakwah kepada Allah, dan bersabar atas semua itu. Beliau tidak bermaksud bahwa manusia cukup merenungkan surat ini tanpa mengamalkan seluruh syari’at. Karena seorang yang berakal apabila mendengar atau membaca surat ini, maka ia pasti akan berusaha untuk membebaskan dirinya dari kerugian dengan cara menghiasi diri dengan empat kriteria yang tersebut dalam surat ini, yaitu beriman, beramal shalih, saling menasehati agar menegakkan kebenaran (berdakwah) dan saling menasehati agar bersabar”[3].

B.     Kandungan surat Al-‘Ashr
Dalam surat ini Allah ta’ala  menjelaskan bahwa seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kerugian yang dimaksud dalam ayat ini bisa bersifat mutlak, artinya seorang merugi di dunia dan di akhirat, tidak mendapatkan kenikmatan dan berhak untuk dimasukkan ke dalam neraka. Bisa jadi ia hanya mengalami kerugian dari satu sisi saja. Oleh karena itu, dalam surat ini Allah mengeneralisir bahwa kerugian pasti akan dialami oleh manusia kecuali mereka yang memiliki empat kriteria dalam surat tersebut

1.     Beriman (الذين آمنوا)
Kriteria pertama, yaitu beriman kepada Allah. Dan keimanan ini tidak akan terwujud tanpa ilmu, karena keimanan merupakan cabang dari ilmu dan keimanan tersebut tidak akan sempurna jika tanpa ilmu.  Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama). Seorang muslim wajib (fardhu ‘ain) untuk mempelajari setiap ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mukallaf dalam berbagai permasalahan agamanya, seperti prinsip keimanan dan syari’at-syari’at Islam, ilmu tentang hal-hal yang wajib dia jauhi berupa hal-hal yang diharamkan, apa yang dia butuhkan dalam mu’amalah, dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مَسْلَمٍ

”Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.”[4]

Imam Ahmad rahimahullah berkata,

يَجِبُ أَنْ يَطْلَبَ مِنَ الْعِلْمِ مَا يَقُوْمُ بِهِ دِيْنَهُ

”Seorang wajib menuntut ilmu yang bisa  membuat dirinya mampu menegakkan agama.”[5] 
Maka merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim untuk mempelajari berbagai hal keagamaan yang wajib dia lakukan, misalnya yang berkaitan dengan akidah, ibadah, dan muamalah. Semua itu tidak lain dikarenakan seorang pada dasarnya tidak mengetahui hakikat keimanan sehingga ia perlu meniti tangga ilmu untuk mengetahuinya. Allah ta’ala  berfirman,

مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلا الإيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ  نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا

”Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Quran itu dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.”[6]

2.      Beramal sholeh (وعملوا الصالحات)
Sifat yang kedua adalah beramal sholeh, Amalan shalih itu mencakup amalan zhahir yang dikerjakan oleh anggota badan maupun amalan batin, baik amalan tersebut bersifat fardhu (wajib) atau pun bersifat mustahab (anjuran).
Orang-orang yang beramal sholeh seumpama orang yang melakukan perdagangan yang tiada ruginya, dimana mereka menjual kefanaan (dunia) yang hina dan membeli kekekalan (akhirat) yang begitu berharga[7]. Ibnu ‘Asyur dalam Tahrirnya memberikan komentar tentang amal; “Paling besarnya amal sholeh adalah tobat dari segala dosa, karena tobat adalah pengakuan terhadap segala kesalahan yang pernah diperbuat, orang yang benar-benar beriman dan meninggalkan kejahatan atau mengerjakan kejahatan namun dia bertobat, dialah orang yang berhak memperoleh keberuntungan majazi, dan balasan yang baik dari perbuatannya. Adapun orang yang tidak melakukan amal sholeh dan tidak bertobat dari kejahatan, maka ia adalah orang yang berhak mendapatkan kerugian”[8]
Keterkaitan antara iman dan amal sholeh itu sangatlah erat dan tidak bisa dipisahkan. Karena amal sholeh itu merupakan buah dan konsekuensi dari kebenaran iman seseorang. Atas dasar ini para ulama’ menyebutkan salah satu prinsip dasar dari Ahlus Sunnah wal jama’ah bahwa amal sholeh itu bagian dari iman. Iman itu bisa bertambah dengan amalan sholeh dan akan berkurang dengan amalan yang jelek (kemaksiatan).
Oleh karena itu, dalam Al Qur’an Allah swt. banyak menggabungkan antara iman dan amal sholeh dalam satu konteks, seperti dalam ayat ini atau ayat-ayat yang lainnya. Diantaranya firman Allah swt.:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”[9] 

3.      Saling menasehati dalam kebenaran (وتواصوا بالحق)
Merupakan salah satu dari sifat-sifat yang menghindarkan seseorang dari kerugian adalah saling menasehati diantara mereka dalam kebenaran, dan di dalam menjalankan ketaatan kepada Allah swt. serta meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan-Nya.
At-tawashi bi al-Haq meliputi pengajaran hakekat hidayah, akidah-akidah kebenaran, dan kepuasan jiwa dalam memahaminya dengan mengerjakan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran[10]. Atau memberikan nasehat tentang agama yang kuat sehingga tidak ada jalan untuk mengnkari, dan tidak akan hilang di dunia atau pun di akhirat lantaran jejaknya yang baik, yakni segala macam kebaikan baik beriman kepada Allah swt, atu mengikuti kitab-kitabnya dan rasul-rasulnya dalam segala keyakinan dan perbuatam[11]
Nasehat merupakan perkara yang agung, dan merupakan jalan rasul di dalam memperingatkan umatnya, sebagaimana Nabi Nuh ketika memperingatkan kaumnya dari kesesatan
أُبَلِّغُكُمْ رِسَالاتِ رَبِّي وَأَنْصَحُ لَكُمْ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
"Aku sampaikan kepadamu amanat-amanah Tuhanku dan aku memberi nasihat kepadamu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui".[12]
Dengan nasehat itu maka akan tegak agama ini, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam haditsnya
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ
“Agama ini adalah nasehat”[13]
Bila nasehat itu mulai kendor dan runtuh maka akan runtuhlah agama ini, karena kemungkaran akan semakin menyebar dan meluas. Sehingga Allah swt melaknat kaum kafir dari kalangan Bani Israil dikarenakan tidak adanya sifat ini sebagaimana firman-Nya:
الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ
“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian mereka dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh kepada perbuatan yang mungkar dan melarang dari perbuatan yang ma’ruf.”[14] 

4.      Saling menasehati dalam kesabaran
Saling menasehati dalam berbagai macam kesabaran, sabar di atas ketaatan terhadap Allah swt dan menjalankan segala perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya, sabar terhadap musibah yang menimpa serta sabar terhadap takdir dan ketetapan-Nya
Orang-orang yang bersabar di atas kebenaran dan saling menasehati satu dengan yang lainnya, maka sesungguhnya Allah swt telah menjanjikan bagi mereka pahala yang tidak terhitung, Allah swt berfirman (artinya):
.....إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“…Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”[15]
         Hakekat sabar menurut Ibnu ‘Asyur adalah seseorang menahan dirinya untuk memenuhi keinginan-keinginannya, atau menahan dari berusaha untuk menggapainya (jika usaha untuk menggapainya itu susah, maka ia tinggalkan usahanya itu lantaran takut akan bahaya yang ditimbulkan olehnya, sebaimana ia takut kepada kemurkaan Allah atau azab-Nya) atau lantaran keinginannya untuk memperoleh manfaat darinya (seperti sabar terhadap susah payahnya jihad dan haji lantaran ingin memperoleh pahala, dan sabar terhadap susah payahnya bekerja kerna ingin memperoleh harta benda, nama baik atau lainnya)[16]. 



C.     Penutup

Demikianlah uraian singkat tentang tafsir surah Al-‘Ashr, dan dapat ditarik kesimpulan bahwa jika telah terkumpul pada diri seseorang keempat sifat ini (beriman, beramal sholeh, saling menasehati dalam kebaikan, dan saling menasehati dalam kesabaran), maka dia telah mencapai puncak kesempurnaan. Karena dengan dua sifat pertama (iman dan amal shalih) ia telah menyempurnakan dirinya sendiri, dan dengan dua sifat terakhir (saling menasehati dalam kebenaran dan dalam kesabaran) ia telah menyempurnakan orang lain. Oleh karena itu, selamatlah ia dari kerugian, bahkan ia telah beruntung dengan keberuntungan yang agung.

وَالله ُتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعٰلَمِيْن



[1] Muhammad Thohir “Tahrir wa Tanwier” Juz.30, hal.528
[2] Sayyid Mahmud Al-Alusi Al-Baghdadi “Ruhul Ma’ani”  Juz 30, hal.228
[3] Syarh Tsalatsatul Ushul
[4] HR. Ibnu Majah nomor 224 dengan sanad shahih
[5] Al Furu’ 1/525
[6] Asy Syuura: 52
[7] Ruhul Ma’ani, Juz.30, hal.228
[8] At-Tahrir wa at-Tanwir, hal.531
[9] QS. An Nahl: 97
[10] At-Tahrir wa at-Tanwir, hal.533
[11] Ruhul Ma’ani, Juz.30, hal.229
[12] Qs. Al-A’raf: 62
[13] HR. Muslim. dari shahabat Tamim Ad Daari radhiyallahu ‘anhu
[14] QS. At-Taubah: 67
[15] QS. Az Zumar:10
[16] At-Tahrir wa at-Tanwir, hal.533

Tidak ada komentar:

Posting Komentar