Kurang lebih enam bulan lamanya hujan tak
kunjung turun membasahi tanah pakarangan dan mengairi sawah-sawah
penduduk, sore ini gumpalan awan hitam berarak di langit Gilli, tampak
sumringah para penduduk yang telah lama menantikan kehadirannya. Sejuta
harapan seakan terukir pada raut wajah kasar mereka akan menghijaunya
tanaman persawahan dan perkebunan mereka yang mengunging dan bahkan
mati. Namun seketika harapan itu pupus seakan bertahan dan mampir
sejenak saja, sekedar menghantar lelah pada hilangnya dahaga. Sesaat
kemudian angin tenggara berhembus begitu kencang memecah gumpalan awan
yang menghitam, kemudian meninggalkan rintikan-rintikan kecil yang
menggumpalkan debu-debu jalanan dan pakarangan. Biru langit yang berbaur
keperakan serta jingga di upuk barat sana menghantar matahari sore
menuju peraduan senja. Sementara timur menitipkan keangkuhannya pada
pasak-pasak bumi yang menjulang tinggi, serta seutas pelangi dengan bias
cahaya penuh warna-warni. Menakjubkan….! Raut muka para warga yang
pupus dengan harapan mengalirnya air hujan ke sawah dan kebun-kebun
mereka, seakan terobati untuk sementara waktu dengan hadirnya pesona
keindahan pelangi yang entah berapa tahun sudah lamanya mereka tak
kunjung menyaksikannya.
Pelangi di atas Gilli sore ini benar-benar memberikan sebuah nuansa baru pada penduduk pulau kecil ini, mereka seakan disihir dengan keindahan sang Maha Karya. Tak henti-hentinya mata memandang, mulut menggumam mengagumi setiap jengakal keindahannya. Sementara di pematang sawah sana bersujud simpuh seorang pemuda dengan derai air mata yang tak terbendung dengan lidah yang tak henti-hentinya bertasbih dan bertahmid serta bertakbir mengagungkan kebesaran Sang Maha Karya dan mengagumi keindahannya.
Perlahan matahari menuruni singgasananya menuju peraduan malam yang menghampar pada jingga di upuk barat. Pelangi yang tadi menghias langit timur kini hanya tinggal bias cahaya perak kebiruan yang kemudian menguning tenggelam dalam kemuning senja. Beriring cekakak burung camar yang seakan berdendang mengiringi kepulangan para pejuang kehidupan. Setelah seharian menghabiskan hari dengan seabrik aktivitas penyambung hidup.
Sementara dari arah tengah perkempungan sayup-sayup suara adzan dikumandangkan melalui corong kecil pengeras suara sebuah surau tua yang berdindingkan bata beton yang mulai rapuh dan melepuk dengan atap genteng berhias lobang-lobang kecil sana sini, warnanya yang kecoklatan lebih mirip dengan bebatuan gunung yang lama tak tersinari sinar mentari. Dari balik corong berdiri seorang pemuda dengan perawakan tegap dan muka putih berseri mengenakan sarung tenun kebiruan dan baju koko dengan warna perpaduan biru keperakan, peci hitam serta selendang biru yang selalu melekat di pundaknya. Dari pakaian yang dikenakannnya Nampak ia seorang santri atau seorang ustadz, ternyata benar lelaki tersebut adalah santri kalung dari seorang ulama ternama di pulau Gilli.
Siapakah dia????... Bersambung..
Pelangi di atas Gilli sore ini benar-benar memberikan sebuah nuansa baru pada penduduk pulau kecil ini, mereka seakan disihir dengan keindahan sang Maha Karya. Tak henti-hentinya mata memandang, mulut menggumam mengagumi setiap jengakal keindahannya. Sementara di pematang sawah sana bersujud simpuh seorang pemuda dengan derai air mata yang tak terbendung dengan lidah yang tak henti-hentinya bertasbih dan bertahmid serta bertakbir mengagungkan kebesaran Sang Maha Karya dan mengagumi keindahannya.
Perlahan matahari menuruni singgasananya menuju peraduan malam yang menghampar pada jingga di upuk barat. Pelangi yang tadi menghias langit timur kini hanya tinggal bias cahaya perak kebiruan yang kemudian menguning tenggelam dalam kemuning senja. Beriring cekakak burung camar yang seakan berdendang mengiringi kepulangan para pejuang kehidupan. Setelah seharian menghabiskan hari dengan seabrik aktivitas penyambung hidup.
Sementara dari arah tengah perkempungan sayup-sayup suara adzan dikumandangkan melalui corong kecil pengeras suara sebuah surau tua yang berdindingkan bata beton yang mulai rapuh dan melepuk dengan atap genteng berhias lobang-lobang kecil sana sini, warnanya yang kecoklatan lebih mirip dengan bebatuan gunung yang lama tak tersinari sinar mentari. Dari balik corong berdiri seorang pemuda dengan perawakan tegap dan muka putih berseri mengenakan sarung tenun kebiruan dan baju koko dengan warna perpaduan biru keperakan, peci hitam serta selendang biru yang selalu melekat di pundaknya. Dari pakaian yang dikenakannnya Nampak ia seorang santri atau seorang ustadz, ternyata benar lelaki tersebut adalah santri kalung dari seorang ulama ternama di pulau Gilli.
Siapakah dia????... Bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar