BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Hadis[1]
sebagai pernyataan dan pengamalan, taqrir dan hal ihwal Nabi Muhammad saw,
merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Serta berfungsi
sebagai mubaiyin (penjelasan) al-Qur’an, biasa dijadikan hujjah dalam hukum Islam
kalau berstatus hadis maqbul (diterima).
Para muhadditsin, dalam menentukan diterimanya
suatu hadis harus terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi yang
bersangkutan. Hal ini disebabkan karena hadis itu sampai kepada kita melalui
mata rantai yang terurai dalam sanad-sanadnya.
Syarat-syarat tersebut kemudian dipadukan
dengan syarat-syarat diterimanya rawi, sehingga pernyataan tersebut dapat
dijadikan sebagai ukuran untuk mengetahui mana hadis yang dapat diterima dan
mana hadis yang harus ditolak. Hadis-hadis yang dapat diterima (maqbul) yaitu hadis
shohih lidzatih, hasan lidzatih, shahih lighairih dan hasan
lighairih.
Selanjutnya hadis shohih menurut ahli hadis
adalah hadis yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat
dari orang yang sama, dan bukan hadis yang syadz (kontroversi) dan
terkena ‘illat yang menyebabkan cacat dalam penerimaannya.[2]
Hadis yang terdiri dari dua unsur, yaitu sanad[3]
dan matan[4] dapat
diketahui kemaqbulannya, harus diadakan penelitian hadis (studi takhrij).
Dengan kegiatan ini segala hadis yang dikutip dan tersebar dalam berbagai
kitab, dengan pengutipan yang bermacam-macam, dan terkadang tidak memperhatikan
kaedah yang berlaku, dapat segera diketahui. Dengan ini, sehingga menjadi jelas
keadaannya, baik asal maupun kualitas hadis.
Dalam hal ini penulis menitik beratkan
pembahasan pada sanad hadis, karena para ulama hadis menilai sangat pentingnya
kedudukan sanad dalam riwayat hadis. Karena demikian pentingnya kedudukan sanad
itu, maka suatu berita yang dinyatakan sebagai hadis Nabi oleh seseorang,
tetapi berita itu tidak memiliki sanad sama sekali, maka berita itu oleh ulama hadis
tidak dapat disebut hadis. Sekiranya berita itu tetap juga dinyatakan sebagai hadis
oleh orang-orang tertentu, misalnya ulama yang bukan ahli hadis, maka berita
tersebut oleh para ulama hadis dinyatakan sebagai hadis palsu atau hadis
maudhu’.
Selanjutnya, jika seseorang ingin meneliti
suatu sanad hadis, ia harus mengkaji ilmu-ilmu yang menjadi unsur sanad. Di
antaranya ilmu rijal al-hadis yang mencakup ilmu thabaqad dan tarikh
ar-ruwat, dan ilmu al-jarh wa at-ta’dil. Pada penyusunan makalah ini
penulis menganalisis kedudukan ilmu al-jarh wa at-ta’dil dikaji dari
segi kedudukannya dan pengaruhnya terhadap kualitas hadis. Kemudian penulis
tuangkan dalam makalah yang berjudul “Kedudukan Al-Jarh Wa At-Ta’dil dalam
Menentukan Kualitas Hadis”.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah
dipaparkan di atas, penulis dapat merumuskan masalah dalam makalah ini sebagai
berikut:
1. Apakah kedudukan Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil berpengaruh terhadap kualitas sebuah hadis?
2. Sejauh mana pengaruh Ilmu Al-Jarh wa
At-Ta’dil dalam menentukan kualitas sebuah hadis?.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DEFINISI ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL
Pada
dasarnya, ilmu al-jarh wa at-ta’dil merupakan bagian dari ilmu rijal al-hadis,
namun karena ia dipandang sebagai bagian yang terpenting, ilmu ini dijadikan
ilmu yang berdiri sendiri[5].
Sebagaimana
ilmu rijal al-hadis, ilmu ini juga sangat penting kedudukannya dalam
kajian ilmu hadis, terutama karena peranannya dalam menetapkan ‘adil atau
tidaknya, dhabit atau tidaknya, dan diterima atau tidaknya seorang rawi
dalam meriwayatkan hadis.[6]
Sebelum memaparkan lebih jauh tentang ilmu al-jarh wa at-ta’dil terlebih
dahulu penulis kemukakan tentang definisi keduanya.
Secara
etimologis, kata al-jarh artinya cacat atau luka dan kata at-ta’dil
artinya mengadilkan atau menyamakan. Jadi, kata ilmu al-jarh wa at-ta’dil
adalah ilmu tentang kecacatan dan keadilan seseorang.
Secara
terminologis, ada ulama yang mendefinisikannya secara terpisah antara istilah al-jarh
dan at-ta’dil, namun ada juga yang menyatukannya. Dalam makalah ini
penulis hanya akan mengemukakan definisi al-jarh wa at-ta’dil menurut
ulama yang menyatukan definisi di antara keduanya, sebagaimana berikut;
علم يبحث عن
الرواة من حيث ماورد في شأنهم مما يشنيهم أو يزكيهم بألفاظ مخصوصة.
Ilmu
yang membahas rawi hadis dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik
yang dapat mencacatkan atau membarsihkan mereka, dengan lafazh tertentu[7].
Lafazh
al-jarh, munurut muhadisin, ialah sifat seorang rawi yang dapat
mencacatkan keadilan dan kehapalannya. Men-jarh atau men-tajrih
seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat
menyebabkan kelemahan atau tertolaknya apa yang driwayatkannya. Adapun rawi
dikatakan ‘adil adalah orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat
menodai agama dan keperwiraannya. Memberi sifat-sifat terpuji kepada rawi
sehingga apa yang diriwayatkannya dapat diterima dan disebut men-ta’dil-kannya.[8]
Berdasarkan
pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli, ilmu al-jarh wa at-ta’dil
merupakan suatu materi pembahasan dari cabang ilmu hadis yang membahas cacat
atau adilnya seorang yang meriwayatkan hadis yang berpengaruh besar terhadap
klasifikasi hadisnya.
B.
METODE UNTUK MENGETAHUI KEADILAN DAN KECACATAN RAWI
Keadilan
seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan.
Pertama, dengan
kepopuleran di kalangan para ahli ilmu bahwa ia dikenal sebagai seorang yang
adil (bisy-syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai orang yang adil di
kalangan para ahli ilmu seperti Anas bin Malik, Sufyan Ats Tsauri, Syu’bah bin
Al-Hajjaj, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan sebagainya.Oleh karena mereka
sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu sehingga
tidak perlu diperbincangkan lagi tentang keadilannya.[9]
Kedua, dengan pujian
dari seorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetapkan sebagai rawi yang
adil oleh orang yang adil yang semula rawi yang di-ta’dil-kan itu belum
terkenal sebagai rawi yang adil.
penetapan
keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh:
1.
Seorang
rawi yang adil. Jadi, tidak perlu dikaitkan dengan banyak orang yang men-jarh
wa ta’dil-kan sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan
riwayat hadis.
2.
Setiap
orang yang dapat diterima periwayatannya, baik laki-laki maupun perempuan, baik
orang yang merdeka maupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat
mengadilkannya.
Penetapan tantang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh
melalui dua jalan, yaitu:
1.
Berdasarkan
berita tentang ketenaran rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal
sebagai orang yang fasik atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi
dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan
kacacatannya.
2.
Berdasarkan
pen-tajrih-an dari seorang yang adil, yang telah mengetahui sebab-sebab
dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang muhadisin, sedangkan menurut
fuqaha, sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki-laki yang
adil.
C.
TINGKATAN DAN LAFAZH-LAFAZH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL
Ibn
Abi Hatim dalam mukaddimah kitabnya “Al-jarh wa at-ta’dil” membagi al-jarh
wa at-ta’dil menjadi empat tingkatan, dan ia menjelaskan hukum dari
tiap-tiap tingkatan tersebut.[10]
Sementara Ibnu Hajar menyusunnya menjadi enam tingkatan,[11]
yaitu sebagaimana berikut.
Tingkatan
pertama, segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan,
dengan menggunakan lafazh-lafazh af’alu at-tafdhil atau ungkapan lain
yang mengandung pengertian sejenis:
أوثق الناس = Orang yang
paling tsiqah, orang yang paling kuat hapalannya.
أثبت الناس حفظا وعدالة = Orang yang
paling mantap hapalan dan keadilannya
إليه المنتهى في الثبت = Orang yang
paling menonjol keteguhan hatinya dan akidahnya.
ثقة فوق ثقة = Orang yang tsiqah
melebihi orang tsiqah
Tingkatan kedua, memperkuat ke-tsiqah-an
rawi dengan membubuhi satu sifat yang menunjukkan keadilan dan ke-dhabit-annya,
baik sifatnya yang dihubungkan itu selafazh (dengan mengulangnya) maupun
semakna, misalnya:
ثبت ثبت = Orang yang
teguh (lagi) teguh, yaitu teguh dalam pendirian
ثقة ثقة = Orang yang tsiqah
(lagi) tsiqah, yaitu orang yang sangat dipercaya
حجة حجة =
Orang yang ahli (lagi) petah lidahnya
ثبت ثقة =
Orang yang teguh (lagi) tsiqah, yaitu teguh dalam pendiriannya dan kuat
hapalannya.
حافظ حجة = Orang
yang hafizh lagi patah lidahnya.
ضابط متقن =Orang
yang kuat ingatan (lagi) meyakinkan ilmunya.
Tingkatan ketiga, menunjukkan keadilan
dengan suatu lafazh yang mengandung arti ‘kuat ingatan’, misalnya:
ثبت = Orang
yang teguh (hati-hati lidahnya)
متقن = Orang yang
meyakinkan ilmunya
ثقة = Orang
yang tsiqah
حافظ = Orang yang
hafizh (kuat hafalannya)
حجة = Orang yang
patah lidahnya
Tingkatan keempat, menunjukkan keadilan
dan ke-dhabit-an, tetapi dengan lafazh yang tidak mengandung arti ‘kuat
ingatan dan adil (tsiqah), misalnya:
صدوق = Orang yang
sangat jujur
مأمون = Orang yang
dapat memegang amanat
لابأس به = Orang yang tidak
cacat
Tingkatan kelima, menunjukkan kejujuran
rawi, tetapi tidak diketahui adanya ke-dhabit-an, misalnya:
محلة الصدق =
Orang yang berstatus jujur
جيد الحديث = Orang yang baik hadisnya
حسن الحديث = Orang yang
bagus hadisnya
مقارب الحديث =
Orang yang hadisnya berdekatan dengan hadis lain yang tsiqah.
Tingkatan keenam, menunjukkan arti
‘mendekati cacat’. Seperti sifat-sifat tersebut di atas yang diikuti dengan lafazh
“insya Allah”, atau lafazh tersebut di-tashir-kan (pengecilan arti), atau
lafazh itu dikaitkan dengan suatu pengharapan, misalnya:
صدوق إن شاء الله = Orang
yang jujur, Insya Allah
فلان أرجو بأن لابأس به =
Orang yang diharapkan tsiqah
فلان صويلح =
Orang yang sedikit kesalehannya
فلان مقبول حديثه =
Orang yang diterima hadis-hadisnya
Para ahli ilmu mempergunakan hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh rawi-rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan pertama
sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Adapun hadis-hadis para perawi yang di-ta’dil-kan
menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat digunakan
bila dikuatkan oleh hadis periwayatan lain.
Kemudian, tingkan dan lafadz-lafazh untuk men-tajrih
rawi-rawi juga ada enam tingkatan yang memiliki lafazh masing-masing,
sebagaimana berikut:
Tingkatan pertama, menunjukkan pada
keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan lafazh-lafzh yang
berbentuk af’al at-tafdhil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian
sejenisnya, misalnya:
أوضع الناس =
Orang yang paling dusta
أكذب الناس =
Orang yang paling bohong
إليه المنتهي في الوضع =
Orang yang paling menonjol kebohongannya
Tingkatan kedua, menunjukkan sangat
cacat dengan menggunakan lafazh-lafzh berbentuk shighat mubalaghah, misalnya:
كذّاب = Orang yang
pembohong
وضّاع = Orang yang
pendusta
دجّال = Orang yang
penipu
Tingkatan ketiga, menunjukkan kepada
tuduhan dusta, bohong atau sebagainya, misalnya:
فلان متهم بالكذب = Orang
yang dituduh bohong
فلان متهم بالوضع =
Orang yang dituduh dusta
فلان فيه النظر = Orang yang
perlu diteliti
Tingkatan keempat, menunjukkan sangat
lemahnya, misalnya:
مطروح الحديث = Orang yang dilempar hadisnya
فلان ضعيف = Orang yang lemah
فلان مردود الحديث =
Orang yang ditolak hadisnya
Tingkatan kelima, menunjuk kepada
kelemahan dan kekacauan rawimengenai hapalannya, misalnya:
فلان لايحتج به =
Orang yang tidak dapat dibuat hujjah hadisnya
فلان مجهول =
Orang yang tidak dikenali identitasnya
فلان منكر الحديث =
Orang yang mungkar hadisnya
Tingkatan keenam, menyifati rawi dengan
sifat-sifat yang menunjukkan kelemahannya, tetapi sifat-sifat itu berdekatan
dengan ‘adil, misalnya:
ضعف حديثه =
Orang yang di-dha’if-kan hadisnya
فلان مقال فيه =
Orang yang diperbincangkan
فلان فيه خلف = Orang yang disingkiri
Orang yang di-tajrih menurut tingkat
pertama sampai dengan tingkat keempat, hadisnya tidak dapat dibuat hujjah sama
sekali. Adapun orang-orang yang di-tajrih-kan menurut tingkatan kelima
dan keenam, hadisnya masih dapat dipakai sebagai i’tibar (tempat
pembanding).
D.
KITAB-KITAB ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL
Kitab-kitab
yang membahas ilmu al-jarh wa at-ta’dil, bibit-bibitnya mulai muncul
pada abad ke-2 H, yakni ketika kodifikasi ilmu mulai merak di segenap penjuru
wilayah Islam.[12]
Karya-karya
tersebut adalah karya-karya Imam Yahya Ibn Ma’in (158-233 H), Ali ibn Al-Madiny
(161-234 H), dan Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241). Kemudian, muncul secara
berturut-turut karya berikutnya yang lebih luas uraiannya, mencakup berbagai
bidang berbagai pendapat para tokoh al-jarh wa at-ta’dil tentang
rawi-rawi yang lebih banyak jumlahnya. Karya itu mencakup sekitar 40 karya,
baik yang dicetak maupun yang masih bentuk manuskrip, sampai abad VII H.
Karya-karya
tersebut memiliki ukuran yang berbeda-beda, mulai dari yang paling kecil yang
terdiri dari satu jilid dan memuat ratusan rawi, sampai yang terbesar yang
terdiri dari puluhan jilid dan memuat puluhan ribu rawi.
Dari
beragam kitab yang ada, metode penulisan yang digunakan oleh para penulis
berbeda-beda. Ada yang hanya membatasi karyanya dengan menyebutkan rawi-rawi
yang tsiqah saja, ada pula yang hanya menyebutkan rawi-rawi yang dha’if
dan rawi-rawi yang di-tajrih saja, dan ada juga yang memadukan antara
rawi-rawi yang tsiqah dan rawi-rawi dha’if.[13]
Dari
sekian banyak kitab-kitab yang membahas al-jarh wa at-ta’dil, penulis
akan menuliskan sebahagiannya saja, di antaranya adalah:
1.
Ma’rifat
Ar-Rijal karya Yahya Ibn Ma’in
2.
Adh-Dhu’afa
karya Imam Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari
3.
Adh-Dhu’afa
wa Al-Matrukin karya Imam
Ahmad ibn Syu’aib Ali An-Nasa’i
4.
Al-jarh
wa at-ta’dil karya
Abdurrahman ibn Abu Hatim Ar-Razi
5.
Al-Tsiqah karya Abu Hatim Ibn Hibban Al-Bustiy
6.
Al-Kamil
fi Ma’rifati Dhu’afa Al-Muhadditsin wa ‘Ilal Al-Hadis karya Al-Hafizh Abdullah ibn Muhammad (Ibn Addiy) Al-Jurjaniy
7.
Lisan
Al-Mizan karya Al-Hafidz Syihabuddin Ahmad
ibn Ali (Ibn Hajar) Al Asqalani.
8.
Mizan
Al-I’tidal karya Adz-Dzahabiy
9.
Tahdzib
At-Tahdzib karya Ibnu Hajar, dll.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari paparan di atas dapat penulis simpulkan
bahwa hadis yang terdiri dari dua unsur, yaitu sanad dan matan dapat diketahui
kemaqbulannya setelah diadakan penelitian hadis (studi takhrij). Dengan
kegiatan penelitian ini, kedudukan, asal, maupun kualitas sebuah hadis dapat
diketahui dengan jelas. Dan di antara ilmu-ilmu yang menjadi unsur sanad adalah
ilmu al-jarh wa at-ta’dil.
Secara
etimologis, kata al-jarh artinya cacat atau luka dan at-ta’dil
artinya mengadilkan atau menyamakan. Sementara ilmu jarh wa al-jarh wa at-ta’dil
secara terminologis adalah ilmu yang membahas rawi hadis dari segi yang dapat
menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membarsihkan
mereka, dengan lafazh tertentu.
Keadilan
seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan. Pertama, dengan
kepopuleran di kalangan para ahli ilmu bahwa ia dikenal sebagai seorang yang
adil (bisy-syuhrah). Kedua, dengan pujian dari seorang yang adil (tazkiyah),
yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil yang semula rawi
yang di-ta’dil-kan itu belum terkenal sebagai rawi yang adil. penetapan
keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh:
(a) seorang rawi yang adil. (b) setiap orang yang dapat diterima
periwayatannya, baik laki-laki maupun perempuan, baik orang yang merdeka maupun
budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.
Sementara
penetapan tantang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan,
yaitu: (a) berdasarkan berita tentang ketenaran rawi dalam keaibannya. (b)
berdasarkan pen-tajrih-an dari seorang yang adil, yang telah mengetahui
sebab-sebab dia cacat.
Secara garis besar, penulis menyimpulkan bahwa
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah ilmu yang sangat penting untuk dikaji
dan diperdalami, karena ia adalah salah satu dari pada ilmu yang menentukan
bagi diterima atau ditolaknya sebuah hadis yang diriwayatkan oleh seseorang.
Kalaulah ilmu al-jarh wa at-ta’dil ini
tidak dipelajari dengan seksama, paling tidak, akan muncul penilaian bahwa
seluruh orang yang meriwayatkan hadis dinilai sama. Padahal, perjalanan hadis
semenjak Nabi Muhammad saw., sampai dibukukan mengalami perjalanan yang begitu
panjang, dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak menentu.
Jika
kita tidak mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampur
adukkan antara hadis yang benar-benar dari Rasulullah dan hadis yang palsu
(maudhu’).
Dengan
mengetahui Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil, kita juga akan bisa menyeleksi
mana hadis sahih, hasan, ataupun hadis dhaif, terutama dari segi kualitas rawi,
bukan dari matannya.
B.
PENUTUP DAN SARAN
Demikianlah
makalah singkat ini penulis susun setelah mentela’ah beberapa buku yang
berhubungan langsung dengan ulumul hadis, secara khusus berhubungan dengan
permasalahan yang dipaparkan di atas “al-jarh wa at-ta’dil”. Meski
tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, namun setidaknya bisa menambah
wawasan dan jiwa kritis penulis. Sebagai penutup penulis sarankan kepada siapa
saja yang membaca makalah ini untuk dapat kiranya mengoreksi dan mencermati
lebih dalam lagi isi yang ada di dalamnya, dan jika ada kesalahan dalam bentuk
apa pun, maka sebuah kehormatan bagi penulis jika Anda berkenan untuk
memberitahukannya kepada kami, agar kami bisa memperbaikinya di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy,
M. Hasbi. 1987. “Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits”. Jakarta: Bulan Bintang.
Rahman, Fatchur. 1985. “Ikhtisar
Musthlahul Hadits”. Bandung: PT. Al-Ma’arif.
Solahudin, M. Agus, dkk. 2009. “Ulumul
Hadits”. Bandung. Pustaka Setia. Cet I.
Thahhan, Mahmud. _____ “Taisier
Mushthalah Al-Hadits”. Haramain
Yunus, Mahmud._____ “Ilmu Mushtholah al-Hadits”. Jakarta, Maktabah
Sa’diyah Putra.
[1] Hadis memiliki
dua macam pengertian; pengertian secara terbatas, sebagaimana dikemukakan oleh
jumhur al-muhaddisin: hadis adalah sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi saw.
baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya.
Sementara hadis menurut arti yang luas adalah seperti yang dikemukakan oleh
Muhammad Mahfudz At-Tirmidzi: Sesungguhnya hadis bukan hanya yang dimarfu’kan kepada Nabi
Muhammad saw., melainkan dapat pula disebutkan pada yang mauquf (dinisbatkan
pada perkataan dan sebagainya dari sahabat) dan maqthu’ (dinisbatkan
pada perkataan dan sebagainya dari tabiin). (Solahudin, 2009. Hal. 16-17).
[3] Sanad adalah
jalan matan hadis, yaitu silsilah para rawi yang menukilkan matan hadis dari
sumbernya yang pertama (Rasulullah saw). Atau lebih dikenal dengan rantai
penutur atau perawi (periwayat) hadis.
[4] Matan adalah perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi
saw., yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya. Dengan kata lain, matan
adalah redaksi dari hadis.
[5] M. Hasbi
Ash-Shiddieqy. “Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits”. Jakarta: Bulan
Bintang. 1987. hlm. 153
[6] Agus Solahudin,
dkk. “Ulumul Hadits”. Bandung. Pustaka Setia. Cet I. 2009. Hal. 114
[7] Agus
Solahudin, dkk. “Ulumul Hadits”. Bandung. Pustaka Setia. Cet I. 2009.
Hal. 113.
[8] Fatchur
Rahman. “Ikhtisar Musthlahul Hadits”. Bandung: PT. Al-Ma’arif. 1985.
Hlm. 268
[9] Fatchur
Rahman. “Ikhtisar Musthlahul Hadits”. Bandung: PT. Al-Ma’arif. 1985.
Hlm.270
[10] Mahmud Thahhan.
“Taisier Mushthalah Al-Hadits”. Haramain, hal. 152.
[11] Fatchur Rahman.
“Ikhtisar Musthalah Hadis”. Bandung: PT. Al-Ma’arif. 1985. Hal. 273
[12] Agus
Solahudin, dkk. “Ulumul Hadits”.
Bandung. Pustaka Setia. Cet I. 2009. Hal. 168.
[13] Mahmud Thahhan.
“Taisier Mushthalah Al-Hadits”. Haramain, hal. 150.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar