Senin, 30 Juni 2014

ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL



BAB I
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG MASALAH
Hadis[1] sebagai pernyataan dan pengamalan, taqrir dan hal ihwal Nabi Muhammad saw, merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Serta berfungsi sebagai mubaiyin (penjelasan) al-Qur’an, biasa dijadikan hujjah dalam hukum Islam kalau berstatus hadis maqbul (diterima).
Para muhadditsin, dalam menentukan diterimanya suatu hadis harus terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena hadis itu sampai kepada kita melalui mata rantai yang terurai dalam sanad-sanadnya.
Syarat-syarat tersebut kemudian dipadukan dengan syarat-syarat diterimanya rawi, sehingga pernyataan tersebut dapat dijadikan sebagai ukuran untuk mengetahui mana hadis yang dapat diterima dan mana hadis yang harus ditolak. Hadis-hadis yang dapat diterima (maqbul) yaitu hadis shohih lidzatih, hasan lidzatih, shahih lighairih dan hasan lighairih.

Selanjutnya hadis shohih menurut ahli hadis adalah hadis yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, dan bukan hadis yang syadz (kontroversi) dan terkena ‘illat yang menyebabkan cacat dalam penerimaannya.[2]
Hadis yang terdiri dari dua unsur, yaitu sanad[3] dan matan[4] dapat diketahui kemaqbulannya, harus diadakan penelitian hadis (studi takhrij). Dengan kegiatan ini segala hadis yang dikutip dan tersebar dalam berbagai kitab, dengan pengutipan yang bermacam-macam, dan terkadang tidak memperhatikan kaedah yang berlaku, dapat segera diketahui. Dengan ini, sehingga menjadi jelas keadaannya, baik asal maupun kualitas hadis.
Dalam hal ini penulis menitik beratkan pembahasan pada sanad hadis, karena para ulama hadis menilai sangat pentingnya kedudukan sanad dalam riwayat hadis. Karena demikian pentingnya kedudukan sanad itu, maka suatu berita yang dinyatakan sebagai hadis Nabi oleh seseorang, tetapi berita itu tidak memiliki sanad sama sekali, maka berita itu oleh ulama hadis tidak dapat disebut hadis. Sekiranya berita itu tetap juga dinyatakan sebagai hadis oleh orang-orang tertentu, misalnya ulama yang bukan ahli hadis, maka berita tersebut oleh para ulama hadis dinyatakan sebagai hadis palsu atau hadis maudhu’.
Selanjutnya, jika seseorang ingin meneliti suatu sanad hadis, ia harus mengkaji ilmu-ilmu yang menjadi unsur sanad. Di antaranya ilmu rijal al-hadis yang mencakup ilmu thabaqad dan tarikh ar-ruwat, dan ilmu al-jarh wa at-ta’dil. Pada penyusunan makalah ini penulis menganalisis kedudukan ilmu al-jarh wa at-ta’dil dikaji dari segi kedudukannya dan pengaruhnya terhadap kualitas hadis. Kemudian penulis tuangkan dalam makalah yang berjudul “Kedudukan Al-Jarh Wa At-Ta’dil dalam Menentukan Kualitas Hadis”.

B.  RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, penulis dapat merumuskan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:
1.      Apakah kedudukan Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil berpengaruh terhadap kualitas sebuah hadis?
2.      Sejauh mana pengaruh Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil dalam menentukan kualitas sebuah hadis?.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  DEFINISI ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL
Pada dasarnya, ilmu al-jarh wa at-ta’dil merupakan bagian dari ilmu rijal al-hadis, namun karena ia dipandang sebagai bagian yang terpenting, ilmu ini dijadikan ilmu yang berdiri sendiri[5].
Sebagaimana ilmu rijal al-hadis, ilmu ini juga sangat penting kedudukannya dalam kajian ilmu hadis, terutama karena peranannya dalam menetapkan ‘adil atau tidaknya, dhabit atau tidaknya, dan diterima atau tidaknya seorang rawi dalam meriwayatkan hadis.[6] Sebelum memaparkan lebih jauh tentang ilmu al-jarh wa at-ta’dil terlebih dahulu penulis kemukakan tentang definisi keduanya.
Secara etimologis, kata al-jarh artinya cacat atau luka dan kata at-ta’dil artinya mengadilkan atau menyamakan. Jadi, kata ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah ilmu tentang kecacatan dan keadilan seseorang.
Secara terminologis, ada ulama yang mendefinisikannya secara terpisah antara istilah al-jarh dan at-ta’dil, namun ada juga yang menyatukannya. Dalam makalah ini penulis hanya akan mengemukakan definisi al-jarh wa at-ta’dil menurut ulama yang menyatukan definisi di antara keduanya, sebagaimana berikut;
علم يبحث عن الرواة من حيث ماورد في شأنهم مما يشنيهم أو يزكيهم بألفاظ مخصوصة.
Ilmu yang membahas rawi hadis dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membarsihkan mereka, dengan lafazh tertentu[7].
Lafazh al-jarh, munurut muhadisin, ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilan dan kehapalannya. Men-jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolaknya apa yang driwayatkannya. Adapun rawi dikatakan ‘adil adalah orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agama dan keperwiraannya. Memberi sifat-sifat terpuji kepada rawi sehingga apa yang diriwayatkannya dapat diterima dan disebut men-ta’dil-kannya.[8]
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli, ilmu al-jarh wa at-ta’dil merupakan suatu materi pembahasan dari cabang ilmu hadis yang membahas cacat atau adilnya seorang yang meriwayatkan hadis yang berpengaruh besar terhadap klasifikasi hadisnya.

B.  METODE UNTUK MENGETAHUI KEADILAN DAN KECACATAN RAWI
Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan.
Pertama, dengan kepopuleran di kalangan para ahli ilmu bahwa ia dikenal sebagai seorang yang adil (bisy-syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu seperti Anas bin Malik, Sufyan Ats Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan sebagainya.Oleh karena mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu sehingga tidak perlu diperbincangkan lagi tentang keadilannya.[9]
Kedua, dengan pujian dari seorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil yang semula rawi yang di-ta’dil-kan itu belum terkenal sebagai rawi yang adil.
penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh:
1.      Seorang rawi yang adil. Jadi, tidak perlu dikaitkan dengan banyak orang yang men-jarh wa ta’dil-kan sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat hadis.
2.      Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, baik laki-laki maupun perempuan, baik orang yang merdeka maupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.
Penetapan tantang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan, yaitu:
1.      Berdasarkan berita tentang ketenaran rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kacacatannya.
2.      Berdasarkan pen-tajrih-an dari seorang yang adil, yang telah mengetahui sebab-sebab dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang muhadisin, sedangkan menurut fuqaha, sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki-laki yang adil.

C.  TINGKATAN DAN LAFAZH-LAFAZH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL
Ibn Abi Hatim dalam mukaddimah kitabnya “Al-jarh wa at-ta’dil” membagi al-jarh wa at-ta’dil menjadi empat tingkatan, dan ia menjelaskan hukum dari tiap-tiap tingkatan tersebut.[10] Sementara Ibnu Hajar menyusunnya menjadi enam tingkatan,[11] yaitu sebagaimana berikut.
Tingkatan pertama, segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan, dengan menggunakan lafazh-lafazh af’alu at-tafdhil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian sejenis:
أوثق الناس                             = Orang yang paling tsiqah, orang yang paling kuat hapalannya.
أثبت الناس حفظا وعدالة         = Orang yang paling mantap hapalan dan keadilannya
إليه المنتهى في الثبت              = Orang yang paling menonjol keteguhan hatinya dan akidahnya.
ثقة فوق ثقة                            = Orang yang tsiqah melebihi orang tsiqah
Tingkatan kedua, memperkuat ke-tsiqah-an rawi dengan membubuhi satu sifat yang menunjukkan keadilan dan ke-dhabit-annya, baik sifatnya yang dihubungkan itu selafazh (dengan mengulangnya) maupun semakna, misalnya:
ثبت ثبت            = Orang yang teguh (lagi) teguh, yaitu teguh dalam pendirian
ثقة ثقة                 = Orang yang tsiqah (lagi) tsiqah, yaitu orang yang sangat dipercaya
حجة حجة           = Orang  yang ahli (lagi) petah lidahnya
ثبت ثقة               = Orang yang teguh (lagi) tsiqah, yaitu teguh dalam pendiriannya dan kuat hapalannya.
حافظ حجة           = Orang yang hafizh lagi patah lidahnya.
ضابط متقن         =Orang yang kuat ingatan (lagi) meyakinkan ilmunya.
Tingkatan ketiga, menunjukkan keadilan dengan suatu lafazh yang mengandung arti ‘kuat ingatan’, misalnya:
ثبت         = Orang yang teguh (hati-hati lidahnya)
متقن        = Orang yang meyakinkan ilmunya
ثقة          = Orang yang tsiqah
حافظ       = Orang yang hafizh (kuat hafalannya)
حجة        = Orang yang patah lidahnya
Tingkatan keempat, menunjukkan keadilan dan ke-dhabit-an, tetapi dengan lafazh yang tidak mengandung arti ‘kuat ingatan dan adil (tsiqah), misalnya:
صدوق    = Orang yang sangat jujur
مأمون      = Orang yang dapat memegang amanat
لابأس به = Orang yang tidak cacat
Tingkatan kelima, menunjukkan kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui adanya ke-dhabit-an, misalnya:
محلة الصدق        = Orang yang berstatus jujur
جيد الحديث       = Orang yang baik hadisnya
حسن الحديث       = Orang yang bagus hadisnya
مقارب الحديث    = Orang yang hadisnya berdekatan dengan hadis lain yang tsiqah.
Tingkatan keenam, menunjukkan arti ‘mendekati cacat’. Seperti sifat-sifat tersebut di atas yang diikuti dengan lafazh “insya Allah”, atau lafazh tersebut di-tashir-kan (pengecilan arti), atau lafazh itu dikaitkan dengan suatu pengharapan, misalnya:
صدوق إن شاء الله          = Orang yang jujur, Insya Allah
فلان أرجو بأن لابأس به   = Orang yang diharapkan tsiqah
فلان صويلح                    = Orang yang sedikit kesalehannya
فلان مقبول حديثه             = Orang yang diterima hadis-hadisnya
Para ahli ilmu mempergunakan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Adapun hadis-hadis para perawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat digunakan bila dikuatkan oleh hadis periwayatan lain.
Kemudian, tingkan dan lafadz-lafazh untuk men-tajrih rawi-rawi juga ada enam tingkatan yang memiliki lafazh masing-masing, sebagaimana berikut:
Tingkatan pertama, menunjukkan pada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan lafazh-lafzh yang berbentuk af’al at-tafdhil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian sejenisnya, misalnya:
أوضع الناس                    = Orang  yang paling dusta
أكذب الناس                   = Orang yang paling bohong
إليه المنتهي في الوضع     = Orang yang paling menonjol kebohongannya
Tingkatan kedua, menunjukkan sangat cacat dengan menggunakan lafazh-lafzh berbentuk shighat mubalaghah, misalnya:
كذّاب       = Orang yang pembohong
وضّاع     = Orang yang pendusta
دجّال       = Orang yang penipu
Tingkatan ketiga, menunjukkan kepada tuduhan dusta, bohong atau sebagainya, misalnya:
فلان متهم بالكذب = Orang yang dituduh bohong
فلان متهم بالوضع            = Orang yang dituduh dusta
فلان فيه النظر     = Orang yang perlu diteliti
Tingkatan keempat, menunjukkan sangat lemahnya, misalnya:
مطروح الحديث               = Orang yang dilempar hadisnya
فلان ضعيف                    = Orang yang lemah
فلان مردود الحديث        = Orang yang ditolak hadisnya
Tingkatan kelima, menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawimengenai hapalannya, misalnya:
فلان لايحتج به     = Orang yang tidak dapat dibuat hujjah hadisnya
فلان مجهول        = Orang yang tidak dikenali identitasnya
فلان منكر الحديث            = Orang yang mungkar hadisnya
Tingkatan keenam, menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjukkan kelemahannya, tetapi sifat-sifat itu berdekatan dengan ‘adil, misalnya:
ضعف حديثه        = Orang yang di-dha’if-kan hadisnya
فلان مقال فيه       = Orang yang diperbincangkan
فلان فيه خلف     = Orang yang disingkiri
Orang yang di-tajrih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkat keempat, hadisnya tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang di-tajrih-kan menurut tingkatan kelima dan keenam, hadisnya masih dapat dipakai sebagai i’tibar (tempat pembanding).
D.  KITAB-KITAB ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL
Kitab-kitab yang membahas ilmu al-jarh wa at-ta’dil, bibit-bibitnya mulai muncul pada abad ke-2 H, yakni ketika kodifikasi ilmu mulai merak di segenap penjuru wilayah Islam.[12]
Karya-karya tersebut adalah karya-karya Imam Yahya Ibn Ma’in (158-233 H), Ali ibn Al-Madiny (161-234 H), dan Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241). Kemudian, muncul secara berturut-turut karya berikutnya yang lebih luas uraiannya, mencakup berbagai bidang berbagai pendapat para tokoh al-jarh wa at-ta’dil tentang rawi-rawi yang lebih banyak jumlahnya. Karya itu mencakup sekitar 40 karya, baik yang dicetak maupun yang masih bentuk manuskrip, sampai abad VII H.
Karya-karya tersebut memiliki ukuran yang berbeda-beda, mulai dari yang paling kecil yang terdiri dari satu jilid dan memuat ratusan rawi, sampai yang terbesar yang terdiri dari puluhan jilid dan memuat puluhan ribu rawi.
Dari beragam kitab yang ada, metode penulisan yang digunakan oleh para penulis berbeda-beda. Ada yang hanya membatasi karyanya dengan menyebutkan rawi-rawi yang tsiqah saja, ada pula yang hanya menyebutkan rawi-rawi yang dha’if dan rawi-rawi yang di-tajrih saja, dan ada juga yang memadukan antara rawi-rawi yang tsiqah dan rawi-rawi dha’if.[13]
Dari sekian banyak kitab-kitab yang membahas al-jarh wa at-ta’dil, penulis akan menuliskan sebahagiannya saja, di antaranya adalah:
1.      Ma’rifat Ar-Rijal karya Yahya Ibn Ma’in
2.      Adh-Dhu’afa karya Imam Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari
3.      Adh-Dhu’afa wa Al-Matrukin karya Imam Ahmad ibn Syu’aib Ali An-Nasa’i
4.      Al-jarh wa at-ta’dil karya Abdurrahman ibn Abu Hatim Ar-Razi
5.      Al-Tsiqah karya Abu Hatim Ibn Hibban Al-Bustiy
6.      Al-Kamil fi Ma’rifati Dhu’afa Al-Muhadditsin wa ‘Ilal Al-Hadis karya Al-Hafizh Abdullah ibn Muhammad (Ibn Addiy) Al-Jurjaniy
7.      Lisan Al-Mizan karya Al-Hafidz Syihabuddin Ahmad ibn Ali (Ibn Hajar) Al Asqalani.
8.      Mizan Al-I’tidal karya Adz-Dzahabiy
9.      Tahdzib At-Tahdzib karya Ibnu Hajar, dll.
BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
Dari paparan di atas dapat penulis simpulkan bahwa hadis yang terdiri dari dua unsur, yaitu sanad dan matan dapat diketahui kemaqbulannya setelah diadakan penelitian hadis (studi takhrij). Dengan kegiatan penelitian ini, kedudukan, asal, maupun kualitas sebuah hadis dapat diketahui dengan jelas. Dan di antara ilmu-ilmu yang menjadi unsur sanad adalah ilmu al-jarh wa at-ta’dil.
Secara etimologis, kata al-jarh artinya cacat atau luka dan at-ta’dil artinya mengadilkan atau menyamakan. Sementara ilmu jarh wa al-jarh wa at-ta’dil secara terminologis adalah ilmu yang membahas rawi hadis dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membarsihkan mereka, dengan lafazh tertentu.
Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan. Pertama, dengan kepopuleran di kalangan para ahli ilmu bahwa ia dikenal sebagai seorang yang adil (bisy-syuhrah). Kedua, dengan pujian dari seorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil yang semula rawi yang di-ta’dil-kan itu belum terkenal sebagai rawi yang adil. penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh: (a) seorang rawi yang adil. (b) setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, baik laki-laki maupun perempuan, baik orang yang merdeka maupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.
Sementara penetapan tantang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan, yaitu: (a) berdasarkan berita tentang ketenaran rawi dalam keaibannya. (b) berdasarkan pen-tajrih-an dari seorang yang adil, yang telah mengetahui sebab-sebab dia cacat.
Secara garis besar, penulis menyimpulkan bahwa Ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah ilmu yang sangat penting untuk dikaji dan diperdalami, karena ia adalah salah satu dari pada ilmu yang menentukan bagi diterima atau ditolaknya sebuah hadis yang diriwayatkan oleh seseorang.
Kalaulah ilmu al-jarh wa at-ta’dil ini tidak dipelajari dengan seksama, paling tidak, akan muncul penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadis dinilai sama. Padahal, perjalanan hadis semenjak Nabi Muhammad saw., sampai dibukukan mengalami perjalanan yang begitu panjang, dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak menentu.
Jika kita tidak mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampur adukkan antara hadis yang benar-benar dari Rasulullah dan hadis yang palsu (maudhu’).
Dengan mengetahui Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil, kita juga akan bisa menyeleksi mana hadis sahih, hasan, ataupun hadis dhaif, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.

B.  PENUTUP DAN SARAN
Demikianlah makalah singkat ini penulis susun setelah mentela’ah beberapa buku yang berhubungan langsung dengan ulumul hadis, secara khusus berhubungan dengan permasalahan yang dipaparkan di atas “al-jarh wa at-ta’dil”. Meski tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, namun setidaknya bisa menambah wawasan dan jiwa kritis penulis. Sebagai penutup penulis sarankan kepada siapa saja yang membaca makalah ini untuk dapat kiranya mengoreksi dan mencermati lebih dalam lagi isi yang ada di dalamnya, dan jika ada kesalahan dalam bentuk apa pun, maka sebuah kehormatan bagi penulis jika Anda berkenan untuk memberitahukannya kepada kami, agar kami bisa memperbaikinya di kemudian hari.





DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. 1987.  Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits”. Jakarta: Bulan Bintang.
Rahman, Fatchur. 1985. “Ikhtisar Musthlahul Hadits”. Bandung: PT. Al-Ma’arif.
Solahudin, M. Agus, dkk. 2009. “Ulumul Hadits”. Bandung. Pustaka Setia. Cet I.
Thahhan, Mahmud. _____ “Taisier Mushthalah Al-Hadits”. Haramain
Yunus, Mahmud._____ “Ilmu Mushtholah al-Hadits”. Jakarta, Maktabah Sa’diyah Putra.



[1] Hadis memiliki dua macam pengertian; pengertian secara terbatas, sebagaimana dikemukakan oleh jumhur al-muhaddisin: hadis adalah sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi saw. baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya. Sementara hadis menurut arti yang luas adalah seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Mahfudz At-Tirmidzi: Sesungguhnya hadis  bukan hanya yang dimarfu’kan kepada Nabi Muhammad saw., melainkan dapat pula disebutkan pada yang mauquf (dinisbatkan pada perkataan dan sebagainya dari sahabat) dan maqthu’ (dinisbatkan pada perkataan dan sebagainya dari tabiin). (Solahudin, 2009. Hal. 16-17).
[2] Mahmud Yunus. “Ilmu Mushtholah al-Hadits”. Jakarta, Maktabah Sa’diyah Putra, tthn, hlm. 30.
[3] Sanad adalah jalan matan hadis, yaitu silsilah para rawi yang menukilkan matan hadis dari sumbernya yang pertama (Rasulullah saw). Atau lebih dikenal dengan rantai penutur atau perawi (periwayat) hadis.
[4] Matan adalah perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi saw., yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya. Dengan kata lain, matan adalah redaksi dari hadis.
[5] M. Hasbi Ash-Shiddieqy. “Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits”. Jakarta: Bulan Bintang. 1987. hlm. 153
[6] Agus Solahudin, dkk. “Ulumul Hadits”. Bandung. Pustaka Setia. Cet I. 2009. Hal. 114
[7] Agus Solahudin, dkk. “Ulumul Hadits”. Bandung. Pustaka Setia. Cet I. 2009. Hal. 113.
[8] Fatchur Rahman. “Ikhtisar Musthlahul Hadits”. Bandung: PT. Al-Ma’arif. 1985. Hlm. 268
[9] Fatchur Rahman. “Ikhtisar Musthlahul Hadits”. Bandung: PT. Al-Ma’arif. 1985. Hlm.270
[10] Mahmud Thahhan. “Taisier Mushthalah Al-Hadits”. Haramain, hal. 152.
[11] Fatchur Rahman. “Ikhtisar Musthalah Hadis”. Bandung: PT. Al-Ma’arif. 1985. Hal. 273
[12] Agus Solahudin, dkk.  Ulumul Hadits”. Bandung. Pustaka Setia. Cet I. 2009. Hal. 168.
[13] Mahmud Thahhan. “Taisier Mushthalah Al-Hadits”. Haramain, hal. 150.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar